Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permintaan untuk menafsirkan jenjang pendidikan dasar dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas mencakup hingga sekolah menengah atas.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menuturkan pemerintah diwajibkan untuk membiayai pendidikan dasar warga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, terdapat kewajiban konstitusi untuk mengalokasikan minimal 20% APBN buat pendidikan.
MK, menurut Wahiduddin, memandang dua kewajiban tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah. Bahkan, sejumlah pemerintah daerah telah mengalokasikan biaya hingga level pendidikan menengah dan tinggi.
“Negara tidak lepas tanggung jawab dalam penyelenggaran pendidikan,” katanya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 97/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Dua orang ibu rumah tangga, Happy Hayati Helmi dan Rayna Zafira, mengajukan gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas. Pasal tersebut mengharuskan pemerintah pusat dan daerah menjamin wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Mereka meminta MK menafsirkan frasa ‘minimal pada jenjang pendidikan dasar’ mencakup pula sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, agar tidak sebatas sekolah menengah pertama (SMP) seperti saat ini. Harapannya, akan terwujud wajib belajar selama 12 tahun.
Meski demikian, MK memandang dalil konstitusionalitas yang dipakai pemohon tidak tepat. Bukannya menggunakan batu uji Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit mencantumkan ‘pendidikan dasar’, pemohon memakai batu uji lainnya. Salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) mengenai persamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan.
Wahiduddin juga mengingatkan bahwa kata ‘minimal’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas tetap memungkinkan wajib belajar hingga 12 tahun, bahkan hingga pendidikan tinggi. Namun, hal itu diwujudkan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
Pengujian Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas berbeda dari perkara lainnya karena pemohonnya mewakili anak kandung. Happy Hayati adalah orang tua dari anak berusia 2 tahun, sementara Rayna Zafira malah masih mengandung.
Keduanya menilai pembatasan definisi pendidikan dasar sampai SMP mengancam buah hati mereka kelak untuk masuk SMA. Konsekuensinya, sang anak berpotensi tidak dapat mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres atau jabatan terpilih lainnya.
Meskipun tidak mewakili diri sendiri, MK memandang Happy dan Rayna Zafira memiliki kedudukan hukum mengajukan gugatan karena anak mereka belum dewasa dan cakap bertindak dalam hukum. Meski demikian, dalil inkonstitusional Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang diklaim keduanya dianggap tidak beralasan menurut hukum.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.