Bisnis.com, JAKARTA -- Siang itu, Jumat (25/1/2019), di rumah berlantai dua di sebuah gang dekat Pasar Proyek Bekasi, Jawa Barat terdengar deru mesin jahit. Ada lagu koplo dari artis yang tengah populer berdendang, menambah riuh suasana.
Sekitar enam orang pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Terlihat 2 orang bekerja sama memindahkan cetakan dan kaos yang tengah disablon, 2 orang lainnya asyik menjahit bahan, dan sisanya memilah kaos polos yang bertumpuk menggunung.
Mereka adalah pekerja harian di Tunas Cloth milik Hendro Rahmandhani. Lebih dari lima tahun, lulusan Sastra Arab di sebuah universitas negeri di Jakarta itu menggeluti usaha sablon.
Dia sempat jatuh bangun membidani kelahiran Tunas Cloth. Dari awalnya hanya membuka lapak toko yang membanderol kaos sablonan, kemudian kaos klub sepak bola, hingga perlahan mempelajari seluk beluk bisnis sablon.
Suasana di salah satu tempat konveksi di Bekasi, Jawa Barat./Bisnis-Kahfi
Kini, bisnisnya perlahan tumbuh besar. Tak lagi bermain dari pesanan kaos sablon, Hendro menawarkan produk mulai dari bahan hingga kodian kaos.
“Perlahan jadi konveksi kecil-kecilan,” ujarnya kepada Bisnis.
Nasib pengusaha bidang konveksi skala rumahan erat kaitannya dengan stok barang setengah jadi, mulai dari benang dan peredaran kaos kodian. Persoalannya, barang-barang itu kerap kali hilang dari pemasok, melejitkan harga.
“Fluktuasi harga seringkali merugikan. Kan masih banyak juga bahannya impor, entah itu dari bahan baku produsen bahan atau kaos jadinya, sehingga nilai tukar juga menentukan,” ungkap Hendro.
Di sisi lain, para pelaku usaha konveksi ini telah mempunyai komunitas. Dari komunitas itu, perlahan Hendro menyadari bahwa terdapat bos-bos besar yang memainkan setok di pasaran.
“Spekulan itu yang tega kepada pengusaha kecil seperti kami,” tuturnya.
Musim politik, bagi pengusaha kecil seperti Hendro, memberikan banyak peluang sekaligus ancaman. Pesanan dari kesibukan arena politik yang membanjir bak pedang bermata dua, bisa memberikan banyak keuntungan ataupun kerugian besar.
Dana jumbo digelontorkan para kontestan politik. Bahkan, untuk sekelas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) saja, sebagaimana perhitungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sebesar Rp4 triliun mengalir ke kas pelaku usaha kecil.
Petugas menertibkan baliho caleg yang dipasang di area terlarang di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (3/12)./ANTARA FOTO-Akbar Tado
Kadin memperkirakan aliran dana itu pada Pilkada 2018. Pelaku usaha yang menangguk berkah antara lain produsen beberapa pengadaan barang untuk Pilkada seperti spanduk, umbul-umbul, baliho, backdrop, kaos, pin, leaflet, dan sebagainya.
Sektor lainnya, yaitu hiburan, juga mendapat untung dari penyewaan tenda dan panggung serta jasa musik rakyat, artis lokal, dan bahkan artis nasional.
Sebaliknya, tak sedikit pengusaha kecil yang malah buntung ketimbang mengantongi untung. Menurut Hendro, dalam menanggapi pesanan para kontestan politik, pelaku usaha kecil mesti hati-hati.
Para pelaku usaha kecil harus punya strategi sendiri karena risiko pesanan dari orang politik cukup besar. Pasalnya, para kontestan politik ini dinilai penuh ketidakpastian.
Beberapa kiat yang diterapkan umumnya adalah memverifikasi asal pesanan. Tunas Cloth, yang biasa membukukan pesanan dari Partai Golkar Kota Bekasi, selalu mengecek siapa penanggungjawab pesanan.
“Kalau hanya makelar, kami tolak. Kalau tim sukses, kami hati-hati, tetapi masih bisa ditindaklanjuti. Paling aman pengurus partai langsung yang pesan,” ungkapnya.
Strategi selanjutnya untuk menekan risiko yaitu adanya ketentuan pembayaran uang muka. Untuk volume besar, uang muka pertama harus diberikan sebesar 50% dari nilai transaksi.
Kemudian, saat pengiriman barang yang biasanya bertahap, pemesan harus menambah 30% pembayaran dan sisanya dilunasi saat pengiriman barang terakhir. Hingga kini, bisnis konveksi Tunas Cloth belum pernah mengalami gagal bayar dari pesanan partai politik.
“Namun, tetap saja, selalu ada pembayaran yang jauh melewati tempo yang disepakati,” cetus Hendro.
Nasib berbeda pernah dialami Roni Angga, yang memiliki satu percetakan kelas kecil di kawasan Pramuka, Jakarta Timur. Sampai saat ini, dia enggan menggarap pesanan dari kontestan politik.
Salah satu kaus yang dibuat di sebuah tempat konveksi dan sablon di Bekasi, Jawa Barat./Bisnis-Kahfi
Pada musim politik lima tahun lalu, Roni mengerjakan beberapa proyek dari calon anggota legislatif (caleg) lebih dari satu partai politik. Para caleg ini menggunakan jasa percetakannya untuk membuat brosur kampanye.
Tetapi, seiring berjalannya waktu, pelunasan transaksi tak jelas rimbanya. Terlebih, tim sukses caleg itu pun hanya meninggalkan alamat rumah kontrakan yang dipergunakan sebagai markas kampanye.
“Calegnya gagal, markas kampanye sudah ditinggal pergi, pembayaran baru 20%. Rugi besar,” ucapnya.
Roni masih beruntung karena volume pesanan dari kontestan politik pada waktu itu hanya di bawah 50% jumlah pesanan. Jika dia porsinya lebih besar lagi, mungkin percetakannya tak bisa selamat.
Dunia politik tentu menjanjikan banyak keuntungan bagi siapapun. Namun, sekali lagi, itu masih sekadar “Janji, ya!"