Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Tuduh China Lakukan Operasi Spionase, Intip Teknologi Militer

Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mengumumkan dakwaan terhadap sejumlah warga China karena mengoordinasikan operasi spionase selama satu dekade untuk mencuri kekayaan intelektual dan data lainnya dari perusahaan-perusahan di AS.
Bendera AS dan China/newline
Bendera AS dan China/newline

Bisnis.com, JAKARTA – Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mengumumkan dakwaan terhadap sejumlah warga China karena mengoordinasikan operasi spionase selama satu dekade untuk mencuri kekayaan intelektual dan data lainnya dari perusahaan-perusahan di AS.

Dua warga negara China, Zhu Hua dan Zhang Shilong, pada Kamis (20/12/2018) dituduh berkoordinasi dengan sejumlah pejabat keamanan China dalam suatu operasi peretasan yang ekstensif.

Mereka diduga telah menyusup ke dalam 45 perusahaan dan badan pemerintah di AS, serta perusahaan-perusahaan lain di belasan negara.

Para peretas, yang dikenal dalam komunitas cybersecurity sebagai Advanced Persistent Threat 10, mencuri informasi dari perusahaan-perusahaan dalam berbagai industri, termasuk perbankan dan keuangan, telekomunikasi, bioteknologi, otomotif, perawatan kesehatan dan pertambangan, menurut surat dakwaan tersebut.

Tak hanya meretas sistem Angkatan Laut AS dengan mencuri data pribadi sebanyak lebih dari 100.000 personel, kelompok ini dijabarkan berhasil menyusupi sistem komputer yang terhubung dengan Jet Propulsion Laboratory milik NASA.

Otoritas penegak hukum AS menekankan ancaman peretasan China terhadap AS saat mengumumkan dakwaan ini, seperti diberitakan Bloomberg.

“Ini adalah kecurangan dan pencurian, memberi China keuntungan yang tidak adil dengan mengorbankan perusahaan-perusahaan dan negara-negara yang mengikuti aturan internasional,” jelas Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein dalam sebuah pernyataan.

“Tidak ada negara yang menimbulkan ancaman jangka panjang yang lebih luas dan lebih parah terhadap ekonomi dan infrastruktur siber negara kita daripada China,” kata Direktur FBI Christopher Wray dalam sebuah konferensi pers di Washington.

Dalam pernyataan terpisah, Kantor Luar Negeri Inggris mengungkapkan bahwa kelompok yang dikenal sebagai APT 10 bertindak atas nama pemerintah China untuk melakukan operasi siber jahat yang menargetkan kekayaan intelektual dan data komersial sensitif di Eropa, Asia dan AS.

Para terdakwa yang disebutkan dalam dakwaan tersebut bekerja untuk Huayhing Haitei Science and Technology Development Co. di Tianjin, China, dan berkoordinasi dengan Biro Keamanan Negara Tianjin Departemen Keamanan Negara China, menurut dokumen pengadilan. Kelompok mereka juga dikenal sebagai "Red Apollo," "CVNX," "Stone Panda" dan nama-nama lain, menurut surat dakwaan.

Kelompok ini dikatakan menggunakan teknik yang dikenal sebagai spear phishing, yakni teknik penyebaran surel yang dikirimkan seolah-olah dari alamat yang kita kenal untuk menargetkan dokumen dan file terlampir yang secara diam-diam akan menginstal malware jika dibuka.

Cara ini memberi para peretas akses ke komputer yang dituju dan memungkinkan mereka untuk mencuri nama pengguna dan kata sandi, file dan informasi lainnya.

Zhu, Zhang, dan peretas lainnya disebut telah memperoleh akses ke setidaknya 90 komputer milik perusahaan komersial dan teknologi pertahanan serta badan pemerintah federal, sedikitnya di 12 negara bagian, termasuk Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland, dan Jet Propulsion Laboratory di Pasadena , California.

Dalam sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Kirstjen Nielsen mengutarakan keprihatinan mereka bahwa dugaan operasi tersebut melanggar perjanjian yang dibuat China dengan AS pada 2015 untuk berhenti mendukung pencurian siber atas kekayaan intelektual dan rahasia dagang.

Kabar terbaru ini berpotensi memperkeruh sentimen tensi perdagangan antara kedua negara. Surat dakwaan terhadap keduanya, yang disegel di pengadilan federal di Manhattan pada hari Kamis, menggarisbawahi salah satu keluhan utama AS dalam perang dagang yang sedang berlangsung antara pemerintah AS dan China.

Keluhan yang dimaksud adalah pencurian sistematis atas kekayaan intelektual AS dan transfer teknologi paksa dari perusahaan-perusahaan yang melakukan bisnis di China.

Keluhan itu menjadi isu utama dalam perundingan antara AS dan China. Kedua negara saat ini sedang berada dalam masa 'gencatan senjata' 90 hari yang telah disepakati Presiden Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pada 1 Desember untuk menghentikan tarif tambahan dan penalti perdagangan.

Sejak pertengahan tahun ini, masing-masing negara telah saling memberlakukan tarif terhadap impor satu sama lain bernilai total US$360 miliar, konflik yang dapat merusak ekonomi global pada saat pertumbuhan melambat.

Sementara itu, kepada Fox Business Network, Menteri Keuangan Steven Mnuchin, mengatakan kasus ini tidak terkait dengan negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung antara AS dan China. Meski demikian keamanan siber tetap menjadi bagian dari pembicaraan itu.

“Langkah Departemen Kehakiman terpisah dari diskusi perdagangan,” kata Mnuchin. “Namun sebagai pemerintah kami jelas sangat fokus untuk memastikan bahwa kami melindungi teknologi Amerika. Ini akan menjadi dialog terpisah tetapi sesuatu yang penting untuk diselesaikan.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper