Oktober, Skandal Kematian Jamal Khashoggi dan Kelahiran Nafta Baru
Bulan Oktober menandai semakin rumitnya kondisi perpolitikan dunia sepanjang 2018. Salah satu peristiwa yang turut berkontribusi pada kepelikan itu adalah meninggalnya jurnalis berkebangsaan Arab Saudi Jamal Khashoggi, salah satu kritikus pemerintah Saudi yang mengasingkan diri di Amerika Serikat.
Hilangnya nyawa seorang jurnalis barangkali bukan hal baru. Namun dalam kasus Khashoggi, ceritanya berbeda. Kasus yang menimpa Khashoggi pertama kali menyeruak kala ia dinyatakan hilang usai memasuki Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki guna mengurus dokumen pernikahan pada 2 Oktober 2018.
Hilangnya Khashoggi berbuntut pada penelusuran otoritas Turki yang berkesimpulan bahwa jurnalis berusia 59 tahun itu kemungkinan besar dibunuh di dalam konsulat. Pernyataan tersebut sontak memperoleh sangkalan dari Arab Saudi. Otoritas Saudi mengatakan Khashoggi sudah keluar dari konsulat dengan selamat.
Singkat cerita, penyidik Turki lalu mendapati temuan yang memperlihatkan 15 orang asal Arab Saudi tiba di Istanbul beberapa jam sebelum Khashoggi dinyatakan hilang. Mereka diperkirakan sebagai tim yang diperintah untuk melenyapkan nyawa sang jurnalis. Sejak itulah, pemerintah Arab Saudi meralat pernyataan mereka.
Sejumlah orang yang tergabung dalam tim tersebut diidentifikasi sebagai sosok yang dekat dengan Pangeran Mohammad bin Salman (MbS), sang penerus tahta. Keterlibatan orang-orang tersebut mendorong negara di dunia mengarahkan kecurigaan terhadap Pangeran Mohammad. Desakan kepada keluarga kerajaan pun muncul, termasuk Indonesia yang mengimbau penyelidikan pembunuhan Khashoggi dilaksanakan secara akuntabel dan adil.
Belum surut krisis diplomatik yang dialami Arab Saudi, peristiwa penembakan kembali menghantui msyarakat sipil di salah satu mitra dekat Saudi, Amerika Serikat.
Sebanyak 11 orang dinyatakan tewas dalam aksi penembakan di sebuah sinagog di Pittsburgh, Pennsylvania. Penembakan tersebut adalah serangan paling mematikan dalam sejarah komunitas Yahudi di Amerika Serikat. Serangan ini dilatarbelakangi sentimen anti-semit sang tersangka, Robert Bowers. Dalam kesaksiannya ia menganggap komunitas Yahudi adalah penyebab datangnya migran asing ke AS.
"NAFTA Baru" Amerika, Kanada, Meksiko
(Dari kiri) Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto, Presiden AS Donald Trump, dan Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau menandatangani US, Mexico, Canada Agreement (USMCA) sebelum menghadiri Leaders Summit G20 di Buenos Aires, Argentina, Jumat (30/11)./Reuters-Andres Stapff
Akhir Oktober menjadi sejarah tersendiri bagi lahirnya "NAFTA baru". Presiden AS Donald Trump, Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto, dan Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau meneken pakta dagang terbaru, yaitu United States, Mexico, and Canada Agreement (USMCA).
Penandatanganan dilakukan tiga kepala negara tersebut di Buenos Aires, Argentina, Jumat (30/11/2018), beberapa jam menjelang perhelatan Leader's Meeting G20 Summit.
Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, penandatanganan USMCA tidak dibuka untuk semua jurnalis yang meliput perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Namun, Trump menayangkan prosesi tersebut secara langsung melalui akun Twitter resminya.
Dalam pidatonya, dia mengatakan USMCA sangat penting bagi ketiga negara itu.
"Baru saja menandatangani perjanjian dagang paling penting, dan paling besar, dalam sejarah AS dan dunia. AS, Meksiko, dan Kanada bekerja sama dengan baik dalam menyusun dokumen hebat ini. NAFTA yang buruk akan segera berakhir. USMCA akan sangat fantastis untuk semua!" papar Trump dalam akun Twitter resminya, Jumat (30/11) waktu setempat.
Dia menuturkan USMCA akan menjadi pakta dagang terbesar dalam sejarah. Pasalnya, ketiga negara merupakan anggota G20 yang memberi kontribusi produk domestik bruto cukup besar bagi perekonomian dunia.
Lebih lanjut, Trump mengungkapkan tujuan diberlakukannya USMCA tak lain untuk meningkatkan gaji para pekerja di sektor manufaktur serta mempromosikan lebih banyak ekspor barang-barang AS di berbagai sektor.
"Kami ingin mendorong ekspor produk AS, termasuk di sektor pertanian, manufaktur, dan industri jasa," terangnya.
Salah satu klausul dalam USMCA adalah AS dapat mengunci akses perdagangan ke Kanada dan Meksiko, contohnya di bidang agrikultur atau pertanian. Hal tersebut diyakini akan membawa angin segar bagi pelaku usaha pertanian di Negeri Paman Sam, salah satunya lewat penggunaan dan pengembangan bioteknologi pertanian.
USMCA juga fokus pada perubahan kompetisi agar lebih adil dan menunjang pendapatan tinggi bagi para pekerja, khususnya di sektor manufaktur. USMCA mensyaratkanya setidaknya 75% pembuatan produk otomotif wajib dilakukan di Amerika Utara.
"Sekitar 40%-45% harus dibuat di Amerika Utara dengan standar gaji buruh yang tinggi. Ini akan menyetop pembuatan kendaraan bermotor di luar negeri dan membawa kembali perusahaan agar mau berinvestasi di AS," ucap Trump.
NAFTA merupakan perjanjian dagang antara negara-negara Amerika Utara, yang pertama kali diterapkan pada 1994. Kesepakatan dagang itu menyatakan bahwa NAFTA bertugas mengoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga, komunikasi, kebudayaan, kewarganegaraan, paspor dan visa, kegiatan sosial, dan kesehatan.
Banyak pihak menilai alasan Trump mengubah NAFTA menjadi USMCA adalah untuk menggantikan perjanjian dagang dengan China. Seperti diketahui, tensi AS-China memanas setelah Trump mengibarkan bendera "perang dagang" dengan Negeri Panda.
Sejak Trump mengumumkan kebijakan kenaikan tarif impor untuk produk aluminium dan baja, AS dan China sudah terlibat dalam aksi saling balas tarif impor. Teranyar, dia mengancam akan kembali mengerek tarif impor untuk barang-barang China senilai US$200 miliar dari 10% menjadi 25%.