Kabar24.com, JAKARTA — Pembatasan otoritas penyidik tindak pidana pencucian uang atau TPPU hanya pada enam instansi dinilai sudah tidak memadai untuk menangani kasus-kasus pencucian uang, terutama yang berasal dari kejahatan ekonomi.
Walaupun tindak pidana asal TPPU lebih dari 25 jenis, UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) membatasi kewenangan penyidikan pada enam instansi.
Keenam instansi itu adalah Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menilai pembatasan tersebut tidak lagi memadai mengingat skala dan kompleksitas TPPU semakin meningkat. Karena itu, penambahan otoritas penyidikan dapat membuat penanganan TPPU lebih optimal.
“Di Indonesia ini tindak pidana umum saja lebih 100. Kalau polisi dengan keterbatasan personil akan sulit sekali menangani TPPU, apalagi di bidang-bidang yang perlu keahlian khusus seperti pasar modal, perbankan, bursa berjangka, kehutanan, perikanan, dan sebagainya” ujarnya dalam sidang perkara uji materi UU TPPU di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Yunus mengakui bahwa substansi UU TPPU diprakarsai dirinya sebagai Kepala PPATK periode 2002-2011. Penjelasan Pasal 74 UU TPPU diputuskan pemerintah dan DPR kala itu sebagai kompromi di antara opsi instansi penyidik tunggal atau multi-investigator untuk menyidik TPPU.
Seiring berjalannya waktu, Yunus mengamati laporan dan analisis PPTAK semakin banyak dan bervariasi, tetapi hanya enam instansi yang bisa menerima hasil pemeriksaan PPATK untuk disidik. Padahal, tambah dia, terdapat lebih dari 50 instansi yang memiliki penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) berkeahlian khusus menggarap tindak pidana asal TPPU.
“Misalnya penyidik Otoritas Jasa Keuangan bisa sidik tindak pidana perbankan dan pasar modal, tapi ironis tidak bisa sidik TPPU [dari tindak pidana asalnya]. Justru pencucian uang itu banyak di sektor keuangan,” tuturnya.
Yunus berpendapat diskriminasi penanganan perkara TPPU tersebut semestinya tidak lagi dipertahankan. Dia meyakini perluasan otoritas penyidikan membuat persaingan dalam memberantas TPPU lebih berkualitas.
Pembatasan enam otoritas penyidik TPPU tercantum dalam Penjelasan Pasal 74 UU TPPU. Padahal, batang tubuhnya mengatur ketentuan bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Ketidakselarasan batang tubuh-penjelasan ini memicu gugatan UU TPPU ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menilai pembatasan melalui sebuah UU dimungkinkan asalkan termuat dalam batang tubuh. Namun, pembentuk UU TPPU justru mencantumkan enam instansi penyidik di bagian penjelasan.
“Penjelasan seharusnya tidak merumuskan perubahan terselubung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Selain Penjelasan Pasal 74, pemohon uji materi UU TPPU menguji konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf z. Alasannya, materi huruf a-huruf y mencantumkan 25 tindak pidana asal TPPU seperti korupsi, penyuapan, narkotika, sedangkan materi huruf z mencantumkan frasa ‘tindak pidana lain yang diancam penjara di atas 4 tahun’.
Pemohon meminta frasa tersebut diganti menjadi 'tindak pidana yang diancam penjara di atas 1 tahun'. Para penggugat a.l. Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia dan Yayasan Auriga Nusantara.