Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UU Terorisme: MK Tolak Uji Materi 2 Mahasiswa Fakultas Hukum UI

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU Terorisme diperlukan untuk melawan perbuatan kekerasan yang memiliki niat untuk mengganti ideologi Pancasila.
Suasana sidang di MK./Bisnis-Samdysara Saragih
Suasana sidang di MK./Bisnis-Samdysara Saragih

Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU Terorisme diperlukan untuk melawan perbuatan kekerasan yang memiliki niat untuk mengganti ideologi Pancasila.

UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) digugat ke MK karena dinilai tidak mencantumkan perbuatan terorisme bertentangan dengan Pancasila. Namun, lembaga penafsir UUD 1945 tersebut menolak dalil tersebut.

Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan terorisme merupakan kejahatan serius sehingga negara perlu mengatur pemberantasan terorisme secara khusus dalam UU. Salah satu yang perlu diatur secara jelas dan tegas adalah definisi terorisme.

Dalam UU Terorisme, tambah Saldi, terorisme didefiniskan sebagai perbuatan kekerasan yang memiliki motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Menurut dia, ‘ideologi’ yang dimaksud dalam UU Terorisme adalah ideologi selain atau bertentangan dengan Pancasila.

“Meski tanpa disebutkan secara jelas dan eksplisit, perbuatan terorisme sudah jelas dan pasti bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 55/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Selasa (30/10/2018).

Selain menyoal definisi terorisme, pemohon uji materi mengeluhkan kata ‘kontra radikalisasi’ dan ‘deradikalisasi’ dalam UU Terorisme tidak menambahkan kata ‘terorisme’. Pemohon khawatir perbuatan radikal selain terorisme bisa terkena stigma negatif.

Terkait dengan dalil tersebut, Saldi menilai tidak perlu ada penambahan kata terorisme mengingat kontra radikalisasi dan deradikalisasi diatur dalam sebuah UU bernomenklatur terorisme.

Oleh karena itu, kata dia, sudah jelas bahwa langkah kontra radikalisasi dan deradikalisasi—yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)—diarahkan kepada subjek yang rentan atau telah terpapar paham radikal terorisme.

“Mengadili, menolak permohonan para pemohon,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.

Pemohon perkara itu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan William Adiyta Sarana, merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Keduanya menilai kata konta radikalisasi dan deradikalisasi yang tercantum dalam sejumlah pasal UU Terorisme perlu diperjelas.

Kedua mahasiswa tersebut mengaku sebagai sosok radikal dalam arti mendasar, fundamental, dan prinsipil, terutama dalam menjalankan ajaran agama. Namun, UU Terorisme dianggap telah menimbulkan stigma bahwa setiap orang radikal adalah teroris.

Keduanya menilai UU Terorisme menghalangi hak untuk beribadah secara radikal dalam arti mengakar dan bersungguh-sungguh sebagai bentuk perwujudan ibadah yang sejati. Menurut mereka, setiap orang beriman harus menjadi radikal.

“Yakni radikal yang berarti mengakar atau mendasar secara prinsipil yang dimaknai mencintai Tuhan dengan sepenuh hati dan ditunjukkan melalui perbuatan untuk menjalani perintah dan menjauhi larangan-Nya,” kata Zico secara terpisah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper