Bisnis.com, JAKARTA -- Terdakwa kasus penerbitan SKL BLBI Syafruddin Arsyad aTemenggung menolak perkara yang saat ini sedang dia tempuh dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat sebagai perkara pidana.
Di dalam pledoi yang dia bacakan, Syafruddin mengatakan dirinya merasa heran, aneh, janggal, serta terkesan ada hal yang dipaksakan terkait dengan penuntasan kasus BLBI yang sejauh ini masih mendakwa dirinya.
"Sejak ditetapkan tersangka bulan Maret 2017 hingga saat ini, kami membacakan di pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kami masih merasa heran, aneh, janggal dan terkesan dipaksakan atas kontruksi hukum yang dibuat oleh penyidik dan penuntut umum KPK yang telah menetapkan tersangka dan terdakwa dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim," ujar Syafruddin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018).
KPK, menurutnya, dengan sengaja tidak mengatakan fakta hukum sebelum dimulainya persidangan.
Mengenai masalah perjanjiian MSAA-BDNI, hal tersebut dikatakan oleh Syafruddin merupakan perjanjian perdata yang dibuat oleh pemerintah dan diwakili oleh Menteri Keuangan serta Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan pemegang saham.
"Oleh karena itu, sangat janggal dan tidak masuk akal masalah perdata disidang di Pengadilan Tipikor," ujar Syafruddin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018).
Dia menambahkan, seharusnya KPK menyampaikan temuannya kepada pemerintah dan diselesaikan dan dievaluasi secara perdata dengan pemegang saham BDNI.
Selain itu, lanjut terdakwa, untuk masalah hutang petambak, penyidik dan JPU KPK mengatakan bahwa terdapat kewajiban hutang petambak Rp4 triliun yang belum diselesaikan Sjamsul Nursalim melalui pernyataan sepihak tahun 1999, atau misrepresentasi.
Kenyataannya, tegas Syafruddin, pada bulan Juli 2000 sebelum masa akhir dirinya menjabat sebagai Ketua BPPN, dia telah melaporkan pengaduan, menerbitkan KKSK pada Juni 2002 sehingga tidak ada misrepresentasi .
"Keanehannya adalah KPK dengan sengaja memotong bagian penting dari informasi dan kebijakan penyelesaian MSAA-BDNI sejak tahun 2000-2004, hanya melihat misrepresentasi tahun 1999 dan langsung didakwakan tahun 2018. Sehingga objektifitas JPU KPK menjadi sangat diragukan dan tendensius untuk menghukum kami," tuturnya
Menanggapi hal itu, Jaksa Penuntut Umum KPK Kiki Ahmad Yani mengatakan KPK tidak mempermasalahkan pledoi Syafruddin karena merupakan persepsi terdakwa.
Namun, pihaknya juga menolak dikatakan tendensius dalam menangani perkara BLBI.
"Persepsi beliau. Kalau terdakwa berpendapat seperti itu, ya, tidak apa-apa. Yang penting kita tidak tendensius. Selama menangani perkara kita pernah ada tendensi untuk siapapun. Keliru, kalau dibilang tendensius," ujar Kiki.
Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Syafruddin Temenggung, terdakwa korupsi penerbitan SKL BLBI dengan hukuman 15 tahun penjara.
Dalam sidang lanjutan perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI dengan agenda pembacaan tuntutan, tim penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Syafruddin mengklaim Presiden Megawati Soekarno Putri menyetujui penghapusan utang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM).
“Padahal ratas [rapat terbatas] tidak pernah mengambil keputusan untuk dilakukan penghapusan. Terdakwa mengetahui bahwa belum ada persetujuan Presiden terkait write off atau penghapus bukuan terkait utang petambak Dipasena, tapi terdakwa tetap mencantumkan bahwa usulan penghapusan atas porsi unsustainable tambak plasma sebesar Rp2,8 triliun tersebut adalah atas persetujuan Presiden pada ratas 11 Februari 2004,” jelas I Wayan Riana, salah seorang penuntut umum KPK dalam sidang, Senin (3/9/2018).
Atas perbuatannya, penuntut umum meminta majelis hakim yang diketuai oleh Yanto, Ketua PN Jakarta Pusat, untuk menjatuhkan hukuman selama 15 tahun penjara kepada Syafruddin Temenggung dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara.