Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump harus menekan Pyongyang untuk mengakhiri perbudakan dan kerja paksa, ungkap pembelot Korea Utara menjelang pertemuan bersejarah antara kedua pemimpin kedua negara tersebut.
Dengan perkiraan 1,1 juta orang, atau satu dari 20 warga, hidup dalam perbudakan, Korea Utara menduduki peringkat negara terburuk di dunia dalam hal prevalensi pada Indeks Perbudakan Global 2016 oleh kelompok hak asasi Walk Free Foundation.
Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dijadwalkan untuk bertatap muka pada Selasa (12/6), dengan fokus pada senjata nuklir Pyongyang dan perdamaian di Semenanjung Korea.
Dilansir Reuters, pembelot dan aktivis anti perbudakan mengatakan KTT AS-Korut di Singapura harus menyoroti pelanggaran hak asasi manusia.
"Ini bukan waktunya untuk fokus pada senjata nuklir. Ini saatnya untuk fokus pada bagaimana Korea Utara menindas rakyatnya," ungkap seorang pembelot, Yeonmi Park kepada Reuters.
Yeonmi mengalami pelecehan seksual dan jatuh ke dalam perdagangan manusia setelah dia menyeberang ke China pada tahun 2007 pada usia 13 tahun. Dia berkampanye melawan perdagangan pengantin Korea Utara ke China, dan menceritakan kisahnya dalam memoar "In Order to Live" tahun 2015 silam.
Banyak warga Korea Utara terperangkap di kamp-kamp penjara di dalam negeri, atau dikirim ke luar negeri sebagai budak untuk mendapatkan penghasilan yang sangat dibutuhkan bagi negara yang terisolasi itu.
PBB mengatakan pada tahun 2015 bahwa Korea Utara telah memaksa 50.000 orang untuk bekerja di luar negeri, terutama di Rusia dan China, dan menghasilkan antara US$,2 miliar hingga US$2,3 miliar setiap tahun untuk pemerintah.
Aliansi Eropa untuk Hak Asasi Manusia di Korea Utara mengatakan bahwa Pyongyang menggunakan "budak yang disponsori negara” ini untuk menghasilkan pendapatan dengan menghindari sanksi internasional atas program senjata nuklirnya.
Para buruh biasanya bekerja secara shift selama 10 hingga 12 jam, dan hingga 90% dari gaji mereka dikirim kembali ke pemerintah Korea Utara, menurut kelompok itu.
"Jika mereka (Trump dan Kim) tidak berbicara tentang masalah hak asasi manusia, saya khawatir mungkin akan ada lebih banyak lagi yang meninggal karena penyiksaan di masa depan," kata Jihyun Park, seorang pembelot yang kini tinggal di Manchester, Inggris.
Wanita berusia 49 tahun ini dijual ke China sebagai pengantin wanita, tetapi kemudian ditangkap dan dideportasi kembali ke Korea Utara. Dia dikirim ke kamp penjara, di mana dia dan yang lain bekerja tanpa alas kaki, bertani di daerah pegunungan dari fajar hingga senja.