Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberikan beberapa catatan terkait dengan Rancangan Undang-Undang Terorisme.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengatakan pihaknya menilai hak-hak korban dalam rancangan tersebut telah diatur cukup baik bahkan berlaku surut. Namun, pihaknya menilai pemberian kompensasi harusnya melaui ketetapan pengadilan, bukan keputusan pengadilan.
“Pelaku kejahatan bisa melarikan diri agar bebas atau meninggal dunia. Kalau kompensasi harus melalui keputusan pengadilan berarti harus melalui proses persidangan terhadap pelaku. Selain itu, harus ada standar minimum kompensasi apa saja yang harus diterima korban,” ujarnya, Rabu (23/5/2018).
Terkait dengan definisi, pihaknya mengapresasi bahwa rancangan itu menghilangkan kata “motif” serta politik. Kata “motif” yang dihilangkan dianggap mempermudah pemenuhan unsur tindak pidana dan akuntabilitas dan kata “politik” yang dihilangkan bermanfaat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang guna kepentingan politik.
Pihaknya juga menilai pasal mengenai penangkapan perlu memperjelas status orang yang ditahan apakah sebagai tahanan dan sampai berapa lama dia harus ditahan. Dia menilai waktu penahanan yang tertera dalam rancangan tersebut masih terlalu lama karena ketika melakukan penangkapan konstruksi perkaranya telah tersusun.
“Kami juga menyoroti soal penyadapan yang dilakukan oleh penyidik. Penyadapan masih merupakan kerja-kerja intelijen. Penyidik tugasnya menmukan dan memperkuat bukti yang dibatasi oleh waktu. Hal ini bertentangan dengan lamanya waktu penyadapan yang sampai 2 tahun,” paparnya.
Pihaknya juga tetap menilai TNI tidak perlu terlibat penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme karena merupakan upaya penegakan humum yang mestinya dilakukan oleh penegak hukum yakni pihak Kepolisian.
“Kami juga menilai Komnas HAM perlu dilibatkan dalam melakukan pengawasan karena dalam RUU itu disebutkan prinsip kerja harus bersesuaian dengan HAM,” ujarnya.