Bisnis.com, JAKARTA- Kalangan akademisi menilai pendekatan akuntabilitas harus jadi pertimbangan dalam penyusunan RUU Terorisme
Seperti diketahui, rentetan serangan terorisme kembali menaikkan wacana revisi terhadap UU Terorisme.
Sebelumnya revisi UU Terorisme mengalir setelah insiden bom thamrin pada Januari 2016. Pembahasan itu kemudian tersendat akibat beberapa klausul yang belum disepakati oleh Pemerintah dan DPR.
Miko Ginting, akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera mengatakna bahwa penyebab tunggal dalam terorisme harus disingkirkan, termasuk apabila penyebabnya adalah regulasi.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia telah memiliki perangkat hukum anti-terorisme berupa KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
Namun, bukan berarti revisi UU Terorisme tidak perlu dilakukan sepanjang dilaksanakan secara cermat dan mempertimbangkan semua situasi secara objektif.
Baca Juga
"Selain itu, pendapat untuk mengesampingkan HAM dalam RUU Terorisme sama sekali tidak tepat. Justru legitimasi penindakan terorisme adalah pemenuhan HAM kepada warga negara, yaitu hak atas rasa aman,” ujarnya, Senin (21/5/2018).
Menurutnya, pendekatan keamanan saja tidak boleh dan tidak cukup sebagai pertimbangan dalam revisi UU Terorisme.
Dengan demikian, perlu dilengkapi pula dengan pendekatan akuntabilitas dan HAM sehingga penanggulangan terorisme dapat dilakukan secara tepat dan efektif.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi), mendesak DPR segera merampungkan pembahasan revisi Undang-undang (UU) No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Harapan Jokowi mendesak DPR secepatnya merampungkan pembahasan revisi RUU Terorisme, agar kejadian yang tak diinginkan bersama teror bom di Jalan Thmarin, Kampung Melayu serta di Surabaya bisa dicegah.