Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melihat negara perlu memperhatikan keseimbangan dalam menyikapi tindak pidana terorisme. Adapun, dalam kaitannya dengan RUU Tindak Pidana Terorisme, Komnas HAM mengingatkan agar negara jangan sampai melanggar prinsip dasar hak asasi manusia itu sendiri.
Menurut Komnas HAM, terdapat titik rawan dalam RUU Tindak Pidana Terorisme di mana negara berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan bahwa ketentuan yang mengatur jangka waktu penangkapan selama 14 hari dan diperpanjang selama tujuh hari atau total 21 hari Komnas HAM RI dinilai sangat rawan terjadinya pelanggaran HAM.
"Komnas HAM mendorong agar diatur pula mengenai Aparat Kepolisian yang melakukan penangkapan dan pemeriksaan untuk menetapkan dan/atau memberitahukan lokasi "penahanan"," ujar Choirul Anam dalam keterangan resminya, Senin (14/5/2018).
Hal tersebut, lanjutnya, untuk menghindari potensi pelanggaran HAM dan memastikan akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga/kuasa hukum pelaku teror.
Sementara itu, Pakar komunikasi politik Emrus Sihombing menilai sikap Komnas HAM tersebut merupakan antitesis dari keinginan untuk segera diselesaikannya RUU Tindak Pidana Terorisme.
"Sikap yang ditunjukkan Komnas HAM merupakan antitesis dari keinginan untuk segera diselesaikanya RUU Tindak Pidana Terorisme," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (15/5/2018).
Di sisi lain, Emrus memahami sikap Komnas HAM tersebut. "Mereka (Komnas HAM) ingin agar segala sesuatu itu tidak melanggar HAM. Namun, saya berpandangan Komnas HAM juga harus melihat dari dua sisi," tegasnya.
Selain menjunjung tinggi HAM dalam proses penegakan hukum terhadap terorisme, lanjut Emrus, Komnas HAM sebaiknya juga melihat bagaimana hak asasi manusia dilanggar oleh pelaku terorisme.
"Maka dari itu, Komnas HAM perlu melihat hal-hal semacam ini dari berbagai perspektif. Sebab undang-undang itu bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari ancaman terorisme," sambungnya.
Seperti diketahui, Komnas HAM menyatakan tidak setuju dengan beberapa poin dalam RUU Tindak Pidana Terorisme.
Pertama, Komnas HAM menolak Perpu Presiden karena pengaturan dan perlindungan terhadap korban sudah diatur dalam RUU Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, Komnas HAM menilai RUU Tindak Pidana Terorisme sudah komprehensif.
"Mulai dari upaya pencegahan, penindakan, pemulihan hak korban, dan upaya deradikalisasi dalam koordinasi badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui BNPT," papar Choirul Anam.
Kedua, Komnas HAM tidak setuju dengan pelibatan TNI di bawah tindak pidana terorisme, tetapi setuju apabila berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2004, dengan catatan; satu, pengaturan tidak dalam RUU Tindak Pidana Korupsi yang merupakan UU dengan paradigma Criminal Justice System; dua, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dilakukan dalam kerangka UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang mengatur tentang operasi militer selain perang, dengan memerhatikan objek vital, skala ancaman, dan waktu.