Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU APBN : MK Diminta Batalkan Kewajiban Banggar Melapor ke Pimpinan DPR

Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan norma yang mewajibkan Badan Anggaran DPR untuk melaporkan hasil pembahasan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada pimpinan DPR.
Ilustrasi : Presiden Joko Widodo (kiri) saat menyerahkan salinan RAPBN kepada Pimpinan Sidang sekaligus Wakil Ketua DPR Fadli Zon, disaksikan Ketua DPD Oesman Sapta saat Sidang Paripurna DPR Tahun 2017, di Jakarta, Rabu (16/8)./JIBI-Abdullah Azzam
Ilustrasi : Presiden Joko Widodo (kiri) saat menyerahkan salinan RAPBN kepada Pimpinan Sidang sekaligus Wakil Ketua DPR Fadli Zon, disaksikan Ketua DPD Oesman Sapta saat Sidang Paripurna DPR Tahun 2017, di Jakarta, Rabu (16/8)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan norma yang mewajibkan Badan Anggaran DPR untuk melaporkan hasil pembahasan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada pimpinan DPR.

Norma tersebut diatur dalam Pasal 180A UU No. 2/2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Oleh seorang warga bernama Sutanto, pasal tersebut digugat ke MK dan telah teregistrasi sejak Kamis (3/5/2018) dengan No. 39/PUU-XVI/2018.

Sabela Gayo, kuasa hukum pemohon dari firma hukum Sabela Gayo & Partners, mengatakan Badan Anggaran (Banggar) dan pimpinan DPR memiliki kedudukan hukum sederajat sebagai alat kelengkapan DPR. Kesetaraan itu, menurutnya, tercantum dalam Pasal 83 ayat (1) UU 17/2014.

Namun, ketika beleid tersebut diubah menjadi UU No. 2/2018, Pasal 180A menjadi satu dari puluhan pasal baru yang ditambahkan. Pasal itu memuat kewajiban Banggar untuk melaporkan dan mengkonsultasikan hasil pembahasan RUU APBN ke rapat pimpinan DPR sebelum pengambilan keputusan dengan pemerintah dalam pembicaraan tingkat I.

“Ini merupakan bentuk intervensi terhadap kewenangan Banggar DPR dalam mengambil keputusan bersama dengan pemerintah pada pembicaraan tingkat I,” ujarnya dalam berkas permohonan yang dikutip di Jakarta, Kamis (3/5/2018).

Pembicaraan tingkat I merupakan salah satu tahapan penyusunan RUU yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, Banggar, Badan Legislasi, atau rapat panitia khusus. Dalam forum tersebut, fraksi-fraksi dan pemerintah menyampaikan pendapat mininya.

Dari pembicaraan tingkat I, sebuah RUU lalu masuk ke pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Lolos-tidaknya sebuah RUU menjadi UU ditentukan dalam forum pengambil keputusan pamungkas ini.

Selain Pasal 180A, pemohon juga menggugat Pasal 427A huruf a UU MD3 yang menjamin pimpinan MPR dan DPR ketika beleid itu diundangkan (15 Maret 2018) tetap menjabat sampai akhir periode alias 2019. Menurut pemohon, norma tersebut memungkinkan pimpinan MPR bisa terus menjabat, padahal keanggotaannya di lembaga itu tergantung dari statusnya di DPR atau DPD.

Sabela mengatakan keberadaan Pasal 180A dan Pasal 427 huruf a UU MD3 bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 23 UUD 1945.

“Mohon kiranya, Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan Pasal 180A dan Pasal 427 huruf a UU MD3 harus dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” tulisnya dalam petitum.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper