Pilpres dan Pileg Serentak
Dengan asumsi hanya ada dua capres pada Pilpres 2019, maka sejumlah dinamika politik akan muncul mengirinya. Elektabilitas sang calon dan partai politik pengusungnya pada akhirnya akan diuji.
Pemilu serentak, bagaimanapun juga, dinilai akan menjadikan sistem presidensial lebih efektif dan hemat biaya. Apalagi, kalau tidak ada putaran kedua, dengan asumsi hanya ada Jokowi dan Prabowo.
Salah seorang dari mereka cukup mencari selisih satu suara untuk menang dan berkuasa.
Pemilu serentak juga akan membawa konsekuensi seorang presiden terpilih akan memperoleh dukungan yang besar di lembaga legislatif. Karena itulah partai peserta pemilu harus benar-benar berhitung untuk mengusung calon pemimpin kalau tidak ingin terpental dari Istana atau dari Senayan.
Artinya, pemilu serentak akan lebih menguntungkan bagi partai yang kadernya menjadi calon presiden atau wakil presiden. Dalam konteks ini, tidak heran kalau dalam Rakornas Gerindra, Prabowo ‘dipaksa’ oleh kadernya untuk jadi capres. Pasalnya, Prabowo adalah Gerindra dan Gerindra adalah Prabowo.
Karena alasan menjaga elektabilitas partai itu jualah PKS berkeras mengusung salah satu dari sembilan kadernya untuk dijadikan cawapres bagi capres Prabowo. Tentu PKS juga akan mendapatkan bonus elektoral kalau salah satu kadernya bergandengan dengan mantan Danjen Kopassus tersebut.
Tidak salah pula kalau Muhaimin ngotot untuk maju secagai cawapres Jokowi guna mempertahankan eksistensi PKB di mata pemilih. PKB diuntungkan karena mereka yang mengingkan Cak Imin jadi cawapres hampir dipastikan akan memilih partai yang mengkalim dapat dukungan massa kalangan santri Nahdatul Ulama (NU) itu.
Baik PKS maupun PKB sadar betul bahwa pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif serentak pada tahun depan akan menjadi proses seleksi alam dalam penyederhanaan partai politik.
Maklum, sesuai aturan pemilu, partai yang tidak lolos ambang batas parlemen empat persen secara nasional akan tersingkir sebagai peserta pemilu berikutnya.