Bisnis.com, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai pengesahaan revisi kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) merupakan penegasan DPR sebagai lembaga anti kritik.
"[Pengesahan UU MD3] ini meresmikan sikap mereka [DPR] bahwa mereka tidak mau dan tidak peduli dengan kritik," kata Peneliti Formappi Lucius Karus dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (17/2/2018).
Dia mengatakan pengesahan pasal pemanggilan paksa yang tertuang di pasal 73, pasal 122 tentang kritik ke anggota DPR, serta pasal 245 tentang imunitas anggota dewan menunjukan ada upaya peniadaan kritik bagi anggota dewan.
"Bahkan, pengadaan [penghapusan] kritik ini dilakukan dengan paksaan [melalui revisi kedua UU MD3]," papar Lucius.
Anggota Badan Legislasi DPR Arsul Sani mengatakan DPR bukan lembaga anti kritik. Dia menyatakan kritik perlu untuk menjaga dewan tetap bekerja mengutamakan kepentingan masyarakat.
Meski partainya menolak pengesahan Revisi UU MD3 dengan melakukan walkout, Arsul mengatakan kritik hendaknya lebih mengarah pada kinerja.
"Yang penting jangan menghina," tuturnya.
DPR telah mengesahkan revisi kedua UU MD3 pada Senin (12/2/2018). Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Fadli Zon itu, turut hadir Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Revisi UU MD3 disepakati oleh delapan fraksi, sedangkan dua fraksi yakni PPP dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memilih keluar dari pengesahaan dengan melakukan walkout.
Revisi kedua UU MD3 pada awalnya hanya bertujuan untuk memberi PDI Perjuangan satu kursi wakil ketua DPR karena sebagai pemenang Pemilu 2014, partai ini tidak memiliki unsur pimpinan. Akan tetapi, dalam perkembangnya revisi dibuat lebih menyeluruh karena terdapat beberapa aturan yang perlu disesuaikan.
Pada Kamis (15/2/2018) atau tiga hari setelah disahkan, UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pasal-pasal perluasan karena dianggap mengancam demokrasi.