Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UU MD3 Menuai Polemik, Bagaimana Sikap Pemerintah Selama Pembahasan?

Pengesahan revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang memantik polemik memunculkan pertanyaan bagaimana sikap pemerintah selama pembahasan beleid tersebut.
Ketua DPR Bambang Soesatyo (kedua kiri) bergandeng tangan dengan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (kiri), Agus Hermanto (kedua kanan) dan Fahri Hamzah seusai pelantikan Ketua DPR yang baru dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/1)./ANTARA-Wahyu Putro A
Ketua DPR Bambang Soesatyo (kedua kiri) bergandeng tangan dengan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (kiri), Agus Hermanto (kedua kanan) dan Fahri Hamzah seusai pelantikan Ketua DPR yang baru dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/1)./ANTARA-Wahyu Putro A

Bisnis.com, JAKARTA -- Pengesahan revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang memantik polemik memunculkan pertanyaan bagaimana sikap pemerintah selama pembahasan beleid tersebut.

Anggota Badan Legislasi DPR Arsul Sani mengatakan selama pembahasan revisi tata tertib di legislatif ini, pemerintah tidak banyak ikut campur. 

"Pemerintah tidak [banyak] bereaksi," ungkapnya dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (17/2/2018).   

DPR mengesahkan revisi kedua UU MD3 pada Senin (12/2/2018). Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Fadli Zon itu, turut hadir Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Revisi UU MD3 disepakati oleh delapan fraksi, sedangkan dua fraksi yakni PPP dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memilih keluar dari pengesahaan dengan melakukan walkout. 

Revisi UU MD3 ini pada awalnya hanya bertujuan untuk memberi PDI Perjuangan satu kursi wakil ketua DPR. Pasalnya, PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014 tidak memiliki unsur pimpinan.

Akan tetapi, dalam perkembangannya revisi dibuat lebih menyeluruh karena terdapat beberapa aturan yang perlu disesuaikan. Namun, pada Kamis (15/2/2018) atau tiga hari setelah disahkan, UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pasal-pasal perluasan karena dianggap mengancam demokrasi.  

Arsul menyatakan pihaknya berharap MK dapat segera mempercepat sidang untuk menentukan nasib pasal-pasal yang diuji. Pasalnya, dalam UU ini ada kewajiban aturan pelaksana dirampungkan enam bulan semenjak ditetapkan. 

"Kami harapkan MK membuat keputusan sebelum enam bulan sehingga DPR bisa bekerja pada hal-hal lebih substantif ," tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper