Kabar24.com, JAKARTA — Sejumlah pengacara menginginkan obstruction of justice perkara korupsi terhadap advokat dibedakan dengan warga negara biasa.
Karena itu, mereka menggugat keberadaan Pasal 21 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur obstruction of justice. Gugatan itu teregistrasi dalam perkara 7/PUU-XVI/2018 dan 8/PUU-XVI/2018.
Obstruction of justice sebagaimana termaktub dalam UU Tipikor adalah tindakan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus tindak pidana korupsi.
Victor Santoso Tandiasa, pemohon perkara 8/PUU-XVI/2018, meminta para advokat tidak serta-merta diproses secara hukum apabila diduga melakukan obstruction of justice. Sebelum disidik, advokat semestinya dinilai terlebih dahulu oleh dewan kehormatan profesi advokat.
“Advokat itu profesi mulia karena bersumpah kepada kepentingan masyarakat, bukan kepentingan sendiri,” katanya dalam sidang pendahuluan di Jakarta, Senin (5/2/2018).
Pemohon perkara ini meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 21 UU Tipikor sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam dan luar sidang persidangan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.”
Khaeruddin, pemohon perkara 7/PUU-XVI/2018, mengungkapkan harapan senada. Dia menilai Pasal 21 UU Tipikor sangat subyektif dan multitafsir jika dikenakan kepada para advokat.
“Bisa jadi sifat subyektif itu didasarkan atas suka atau tidak sukanya penegak hukum kepada advokat yang membela kliennya,” tuturnya di lokasi yang sama.
Meskipun kedua pemohon sama-sama menggugat Pasal 21 UU Tipikor, tetapi pemohon perkara 8/PUU-XVI/2018 juga meminta uji materi Pasal 221 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur obstruction of justice terhadap semua perkara tindak pidana.