Kabar24.com, JAKARTA - Pagi ini ada kabar menarik, dua jenderal purnawirawan TNI masuk ke lingkaran Istana. Nama pertama adalah Agum Gumelar, menggantikan Almarhum KH Hasyim Muzadi di Wantimpres. Nama kedua, mantan Panglima TNI, Moeldoko yang masuk ke KSP, menggantikan Teten Masduki.
Secara administratif sirkulasi jabatan ini wajar, karena Agum mengisi pos yang kosong pascameninggalnya KH Muzadi. Demikian pula Moeldoko yang menggantikan Teten, sebuah pergantian yang merupakan hak prerogatif presiden.
Meski demikian, sebagai lembaga politik, tentu saja apa yang dilakukan Lembaga Kepresidenan, termasuk Presiden sendiri selalu memiliki pertimbangan politik. Naif sekali bila kita melihat tidak ada tujuan-tujuan strategis dan taktis dari pergeseran ini. Apalagi tahun ini dan tahun depan konstelasi politik akan menghangat dengan adanya Pilkada Serentak dan Pilpres.
Masuknya Moeldoko dan Agum dapat dimaknai sebagai penguatan fondasi politik Presiden Jokowi di militer. Selama ini bila bicara pengaruh militer di Istana, Presiden diidentikkan dengan dua nama senior, yaitu Luhut B Panjaitan dan AM Hendropiyono. Dengan tambahan amunisi masuknya Agum dan Moeldoko, Jokowi memperlebar “pijakan politiknya” di lingkungan purnawirawan TNI.
Mengapa purnawirawan TNI penting? Dalam politik Indonesia, meskipun sejak era reformasi TNI menyatakan kembali ke barak dan menjadi professional soldier, dalam perjalanannya pengaruh mereka tidak benar-benar hilang.
Sejarah TNI sebagai tentara rakyat "menyulitkan" para purnawirawan TNI untuk benar-benar steril dari politik. Apalagi UU tidak melarangnya. Kondisi ini diperkuat dengan “rayuan” partai politik kepada para purnawirawan untuk mengisi posisi-posisi strategis di parpol.
Baca Juga
Hampir semua parpol membuka pintu bagi purnawirawan TNI. Bahkan di Pilkada 2018, banyak mantan TNI yang dicalonkan. Ini menunjukkan ketidakmampuan parpol menjalankan fungsi kaderisasi secara optimal, namun di sisi lain, kapasitas elite-elite TNI diakui oleh partai politik.
Timing masuknya Agum dan Moeldoko menjelang tahun politik 2019 juga menarik dicermati. Kita semua tahu, satu-satunya penantang Jokowi yang sudah muncul secara terbuka adalah Prabowo Subianto. Prabowo memiliki garis militer kuat, kutur yang dibawanya hingga ke Partai Gerindra sekarang. Di sana ada nama-nama seperti Djoko Santoso (Mantan Panglima TNI), Sudradjat, hingga yang tengah diisukan akan masuk, Gatot Nurmantyo.
Dukungan Gerindra kepada Edy Rahmayadi di Pilkada Sumut menunjukkan kedekatan Prabowo – Gatot. Bahkan Gerindra sejak tahun lalu meresmikan organisasi sayap khusus untuk para purnawirawan TNI, yaitu Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya (PPIR).
Dengan masuknya Agum dan Moeldoko ke kubu Jokowi, political grab Prabowo ke para purnawirawan akan mendapat tandingan. Pasalnya Agum bukanlah nama sembarangan. Ia tak lain Ketua Pepabri, organisasi purnawirawan yang sudah berusia puluhan tahun. Sementara Moeldoko, sebagai mantan Panglima, tentu memiliki basis dukungan di lingkungan keluarga besar militer.
Pilpres 2019 akan menarik karena akan ada “perang bintang” di belakang Jokowi dan Prabowo. Meski demikian, pada akhirnya rakyat lah yang akan menjadi juri di Pilpres nanti.
* Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia