Perjuangan Yekti Kurniasih
Bagi Yekti Kurniasih, putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada Kamis (14/12) tentang hak korporasi untuk melarang dua insan pekerja dalam satu perusahaan terikat
dalam perkawinan merupakan suatu kabar gembira. Namun, bagi kalangan pengusaha, putusan tersebut justru memicu kekhawatiran karena sekat antara hubungan personal dalam keluarga dan profesionalitas dalam pekerjaan semakin kabur.
Kisah kemenangan pekerja dalam memperjuangkan hak asasinya ini dimulai dari upaya Yekti, 28 tahun, yang gusar karena diberhentikan dari posisi karyawan PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) kirakira 1 tahun lalu. Perusahaan pelat merah tersebut beralasan pemutusan hubungan kerja dilakukan karena Yekti jatuh cinta kepada Erik yang juga merupakan karyawan PLN.
Keduanya kemudian memutuskan untuk tetap menikah walaupun sudah mengetahui bahwa perusahaan melarang sesama karyawan untuk menjadi suami istri. Kendati keduanya bekerja di lokasi berbeda, di mana Yekti bekerja di Jambi dan sang suami di Sulawesi Barat, pihak PLN menilai hubungan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
PLN berkukuh menegakkan aturan. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengizinkan perusahaan melarang karyawannya kawin selama diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Namun, Yekti tetap keberatan dengan kebijakan perusahaan. Dengan dibantu tujuh rekan Serikat Pegawai PLN Wilayah Sumatra Selatan, Jambi, dan Bengkulu (WS2JB), dia menggugat UU Ketenagakerjaan terutama Pasal 153 Ayat 1 huruf f ke Mahkamah Konstitusi.