Kaba24.com, WINA – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengungkapkan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi saat menghadiri Conference of State Parties (COSP) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC/Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti-korupsi) ke-7 di Markas PBB Wina, Austria, Senin (6/11/2017).
“Sudah saatnya negara-negara saling terbuka untuk mengungkapkan tantangan yang dihadapi. Selama ini, negara-negara korban seperti Indonesia mengalami kesulitan dalam upaya perampasan aset karena sikap kaku dan kurang kooperatif negara-negara yang dimintakan bantuan dalam kerja sama pelacakan dan pengembalian terpidana tipikor,” ujar Menteri Yasonna di Wina.
Kritik membangun tersebut khususnya disampaikan kepada yurisdiksi yang cenderung masih menggunakan pendekatan yang kaku di mana perbedaan sistem hukum menjadi kendala dalam kerja sama internasional.
“Seharusnya perbedaan sistem hukum tidak menjadi kendala, bahkan pendekatan yang perlu diambil adalah menjembatani perbedaan sistem hukum tersebut demi keberhasilan kerja sama internasional sejalan dengan semangat UNCAC itu sendiri,” ungkap Yasonna.
Di sisi lain, Yasonna juga menghargai dan mengakui negara-negara pihak yang telah berkomitmen untuk bekerja sama dengan Indonesia, khususnya terhadap yurisdiksi yang telah melakukan penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi atas permintaan Indonesia.
Pada kesempatan tersebut, Yasonna mengingatkan seluruh delegasi mengenai berbagai upaya para pelaku tipikor yang menggunakan segala cara untuk melepaskan diri dari jerat hukum dan melindungi aset hasil korupinya.
Baca Juga
Para pelaku yang telah divonis pidana oleh pengadilan di Indonesia berupaya untuk menggunakan forum-forum internasional seperti arbitrase untuk mendapatkan putusan dari forum tersebut yang menguntungkan mereka dan kemudian menggunakan putusan arbitrase tersebut untuk mengesampingkan bahkan membatalkan putusan pidana dari pengadilan Indonesia.
“Indonesia mengimbau agar negara-negara tidak terkecoh oleh upaya-upaya licik serupa dan perlunya kerja sama internasional yang lebih erat dalam memastikan tidak ada pelaku korupsi dan aset-asetnya yang dapat berlindung di belahan dunia manapun,” tegasnya.
Yasonna juga menyampaikan pentingnya bantuan teknis yang bersifat country-led dan country-specific. Dalam hal ini, bantuan tersebut disediakan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dengan menyediakan para tenaga ahli yang kompeten terkait bantuan teknis di bidang pemulihan aset yang dapat memberikan bantuan terkait bagaimana membuka dan menjalin komunkasi yang efektif antara negara peminta bantuan dan negara yang dimintakan bantuan dalam kerjasama MLA (Mutual Legal Assistance) dan ekstradisi.
Hal ini berangkat dari pengalaman di mana kerja sama MLA dan ekstradisi yang diupayakan negara peminta tidak memperoleh respons yang memuaskan dari negara yang dimintakan bantuan.
Selama di Wina, Menteri Yasonna juga berkesempatan melakukan pertemuan bilateral dengan Rusia, Swiss, dan China untuk membahas berbagai bentuk kerjasama hukum.
COSP UNCAC merupakan pertemuan tingkat tinggi negara-negara pihak dan peninjau UNCAC, serta organisasi internasional terkait, guna membahas isu-isu yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Sesi ke-7 COSP UNCAC berlangsung dari tanggal 6 hingga 10 November 2017. Konferensi dibuka oleh Executive Director UNODC Mr. Yuri Fedotov dan dihadiri oleh 50 pejabat setingkat Menteri, lebih dari 500 delegasi mewakili Negara Pihak dan peninjau UNCAC serta organisasi internasional dan NGO.
Konferensi dipimpin oleh Jaksa Agung Guatemala H.E. Thelma Aldana. Sementara itu, Delegasi RI pada pertemuan ini dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly didampingi oleh Duta Besar RI untuk Austria Dr. Darmansjah Djumala, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, dan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, serta beranggotakan pejabat unsur dari Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Kemlu, Setkab, Kejagung, KPK, dan KBRI/PTRI Wina.