Kabar24.com,JAKARTA - Jumlah korban perbudakan modern di Inggris dilaporkan meningkat hingga 300% dalam enam tahun terakhir di mana hampir setengahnya terkait dengan eksploitasi seksual.
Inggris mengesahkan undang-undang anti perbudakan yang ketat pada 2015 yang mengatur hukuman seumur hidup bagi para pelaku perdagangan manusia.
Salvation Army Badan Amal Kristen nasional mengatakan jumlah korban yang terjerat bisnis eksploitasi seksual tahun ini hanya kurang dari setengah, 39% terjebak kerja paksa dan 3% menjadi pekerja rumah tangga.
Sejak 2011 satu dari ribuan korban diperdagangkan untuk diambil organnya. Namun, sejak saat itu jumlah total korban dalam golongan ini meningkat menjadi 1.554 orang.
"Peningkatan ini bisa berarti jumlah korban memang bertambah atau identifikasi yang dilakukan sudah lebih baik dari sebelumnya," kata Anne Read, Direktur Anti Trafficking dan Perbudakan Modern Salvation Army seperti dikutip dari Reuters, Selasa (17/10/2017).
Sedikitnya 13.000 orang diperkirakan menjadi korban perbudakan modern di Inggris tetapi polisi mengatakan jumlah ini laksana puncak gunung es pasalnya telah terjadi peningkatan di seluruh pelosok negeri.
Para korban diperdagangkan untuk dieksploitasi tenaganya sebagai pekerja di peternakan, tempat perawatan kuku, pekerja rumah tangga, dan prostitusi. Mereka terkonsentrasi di ibukota Inggris, London. Namun, Salvation Army mengatakan pihaknya memiliki sejumlah safe house di seluruh penjuru Inggris dan Wales.
Para korban berasal dari 95 negara berbeda di mana jumlah korban wanita yang pernah mendapatkan bantuan dari Salvation Army paling banyak berasal dari Albania dan Nigeria. Sementara, untuk pertama kalinya pada tahun ini jumlah korban pria terbanyak berasal dari Vietnam.
Badan amal ini juga mencatat terjadi peningkatan pesat dalam jumlah korban perdagangan manusia dari China, India, dan Pakistan.
"Kami disadarkan oleh fakta ada ribuan orang yang menjadi korban perbudakan di Inggris saat ini," kata Jakub Sobik seorang anggota Anti Perbudakan Internasional.
Menurut Sobik, meningkatnya angka korban perbudakan bisa jadi dipicu oleh pemahaman yang saat ini lebih baik terkait tindak pidana ini baik di kalangan petugas garda depan juga di institusi yang memberikan bantuan bagi para korban.
Inggris dianggap sebagai pemimpin dalam usaha global memerangi perdagangan manusia, hal yang dikategorikan sebagai tindak kriminal setelah adanya Undang-undang Perbudakan Internasional pada 2015. Namun, kata Sobik, Inggris sebenarnya bisa bertindak lebih lagi dalam melindungi para korban, khususnya anak-anak.
"Kami belum melihat adanya sistem perlindungan korban perbudakan yang komprehensif di Inggris Raya," katanya.