Kabar24.com, JAKARTA — Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Penyiaran belum menemukan titik temu karena beberapa hal yang dianggap substansial masih diperdebatkan.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo mengatakan dalam perumusan undang-undang ini pihaknya telah berbicara dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, asosiasi siaran televisi berlangganan, pengelola televisi swasta dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Hal itu, kata dia, agar undang-undang yang dihasilkan kelak tidak menimbulkan monopoli baru baik oleh lembaga negara atau pelaku swasta. Namun, ada beberapa hal pokok yang disebutnya belum disepakati anggota dewan.
“Mudah-mudahan ada titik temu. Kalau tidak bisa ditunda kembali,” katanya, Rabu (21/9/2017).
Hal-hal pokok itu pertama, terkait dengan badan migrasi dari analog ke digital. Dia mengatakan, batas akhir migrasi yang dituangkan dalam draf rancangan undang-undang tersebut berjangka waktu 3 tahun. Akan tetapi, pandangan pelaku usaha yang dihimpun pihaknya, tenggat waktu itu terlalu pendek.
“Sehingga rasionalnya itu lima tahun menurut pelaku usaha. Ini harus dicari titik tengahnya,” katanya.
Kedua, terkait dengan digital dividen adanya keinginan pemerintah dilakukan pemanfaatan frekuensi untuk telekomunikasi.
Dalam hal ini, kata dia, undang-undang yang dihasilkan akan bertentangan dengan telekomunikasi. Menurutnya, Komisi I DPR RI yang membahas terkait ini pun tidak setuju dengan digital dividen tersebut.
Persoalan ketiga, menyangkut investasi asing di mana Komisi I menghendaki 0%. Tapi dari penelaahan pihaknya ada Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 yang merupakan turunan regulasi dari undang-undang investasi yang menyatakan penanaman modal di bidang ini boleh sampai maksimal 20%.
Hal keempat adalah multipleksing yang akan menjadi proses panjang dan menjadi hal serius menyangkut bidang usaha penyiaran. Dia menambahkan, Komisi I DPR ingin draf rancangan undang-undang tersebut disahkan menjadi inisiatif.
Adapun dari badan legislatif bersifat masukan. Menurutnya, usulan dari Komisi I DPR itu mengartikan tak ada gunanya pembahasan di badan legislatif.