"PPP menghormati pihak-pihak yang merasa perlu pemutaran film itu untuk menghidupkan memori sejarah kembali. Namun, bila ada pihak-pihak menilai di film tersebut ada pemutarbalikan fakta atau tidak sesuai sejarah yang sebenarnya, silahkan untuk diperbarui," kata Romy diwawancarai wartawan ketika menghadiri Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) DPD PPP Kaltim di Hotel Aston Samarinda, Rabu (20/9/2017).
PPP menilai pemutaran film G30S/PKI tidak perlu dilarang. "Bagi pihak yang tak setuju pemutaran film tersebut agar tidak melakukan usaha pelarangan-pelarangan," ujarnya.
"Prinsip kita adalah sebagai bangsa, kita jangan lupa akan sejarah sebuah pengkhianatan dilakukan PKI. Di sisi lain, jika ada fakta baru, silahkan diadopsi fakta baru itu (film G30S/PKI) menjadi materi yang lebih sempurna. Yang lebih bisa diterima oleh bagi generasi milineal yang tak tahu apa-apa," kata Romy.
Menurut Romy, pemutaran film G30S/PKI ini diputar sepanjang Orde Baru dan itu dilakukan dalam rangka untuk memelihara memori kolektif masyarakat tentang pengkhianatan salah satu partai poltik yang pada waktu itu dilatari komunisme internasional.
"Saat ini komunisme internasional masih hidup meskipun mengalami kebrangkutan dan mengalami transformasi. Satu-satunya rezim komunis yang cukup besar hari ini adalah China. Namun, hari ini mengalami transformasi kapitalisme," kata Romy.
Sementara itu, terkait desakan sejumlah pihak yang menuntut pembubaran Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyelenggarakan pembedahan sejarah 1965, Romy menilai agar semua pihak menghormati kebebasan berpendapat dan berserikat.
"Kita ini negara hukum, UU Ormas sudah diterbitkan dan ada penggantinya Perpu Ormas. Perlu ditelusuri lebih dulu apa ada bukti-buktinya YLBHI ini melakukan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, baru kita bisa menyimpulkan. Pembubaran organisasi tidak bisa dilatari oleh sebuah peristiwa singkat-singkat atau masih sumir," kata Romy.