Bisnis.com, JAKARTA - Aksi penyadapan oleh KPK yang berujung operasi tangkap tangan (OTT) membuat takut anggota DPR? Kini, dewan mempermasalahkan dan ingin prosedur penyadapan direvisi.
Dengan alasan kerap terbawanya konten yang tidak terkait dengan pokok perkara, anggota Komisi III DPR mendesakkan hal itu kepada KPK.
"Kami ingin mendorong KPK agar memperbaiki yang kurang sempurna. Misalnya, terkait penyadapan," kata Bambang usai Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan KPK, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Pasalnya, ada konten penyadapan yang tidak terkait dengan pokok perkara masuk ke pengadilan. Namun, tersiar ke ruang publik.
Bagi anggota dewan itu, sukses pimpinan KPK ke depan adalah suksesnya Komisi III DPR yang memilih. "Kalau ada kegagalan, kami tidak bisa lepas dari tanggung jawab," ujarnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan penyadapan KPK tidak bisa dilakukan sembarangan. "Ada mekanisme yang mengatur," tutur dia.
Kronologis Penyadapan:
Diawali dari usul Direktorat Penyelidikan KPK setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) yang disampaikan ke pimpinan KPK.
Kemudian apabila lima pimpinan setuju dan menandatangani surat perintah penyadapan (sprindap), kegiatan baru bisa dilakukan. Penyadapan dilakukan Direktorat Monitoring di bawah Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK. "Bukan Direktorat Penyelidikan," kata Agus.
Penyadapan diawasi oleh Direktorat Pengawasan Internal (PI) di bawah Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK. Tiga bidang ini --penyelidikan, informasi dan data serta PI-- saling terkait dalam melakukan penyadapan.