Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengungkap Fenomena Bunuh Diri dari Kaca Mata Sosiologis

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setiap tahunnya hampir 800.000 nyawa di dunia melayang akibat bunuh diri. Kebanyakan kasus bunuh diri yang tercatat secara global terjadi pada individu pada rentang usia 15—29 tahun.
Ilustrasi bunuh diri/Istimewa
Ilustrasi bunuh diri/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setiap tahunnya hampir 800.000 nyawa di dunia melayang akibat bunuh diri. Kebanyakan kasus bunuh diri yang tercatat secara global terjadi pada individu pada rentang usia 15—29 tahun.

Bunuh diri adalah fenomena global yang dijumpai di seluruh regional di muka bumi. Bagaimanapun, 78% angka bunuh diri global per 2015 tercatat terjadi di negara-negara berpendapatan rendah-menengah.

Bunuh diri menjadi penyebab 1,4% kasus kematian di seluruh dunia, atau menempati posisi ke-17 dalam daftar penyebab kematian terbanyak. WHO mencatat, setiap individu yang meninggal karena bunuh diri rata-rata telah melakukan percobaan bunuh diri 20 kali.

WHO mengungkapkan kasus bunuh diri di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada 2005 tercatat ada 30.000 kasus, pada 2010 sebanyak 5.000 kasus, pada 2012 sejumlah 10.000 kasus, dan pada 2013 sebanyak 840 kasus.

Maraknya peristiwa bunuh diri yang diekspose oleh media massa belakangan ini sebenarnya bisa dijelaskan dari kaca mata sosiologi. Ada banyak literatur sosiologi yang mengulas tentang fenomena bunuh diri di tengah masyarakat.

Salah satu yang paling terkenal adalah Suicide (1897) karya Emile Durkheim. Dia berpendapat bunuh diri dapat dipicu oleh penyebab psikologis, biologis, dan fisika kosmis yang terkadang tidak dapat dijelaskan secara eksakta.

Mengungkap Fenomena Bunuh Diri dari Kaca Mata Sosiologis

Durkheim juga membagi jenis bunuh diri menjadi tiga. Pertama, bunuh diri egostik yang dipicu oleh keterlepasan individu dari ikatan sosial. Individu yang tidak terintegrasi dengan lingkungan sosial cenderung berpikir suicidal.

Kedua, bunuh diri altruistik yang terjadi akibat terlalu kuatnya individu dalam kohesivitas sosial dengan kelompoknya. Biasanya, bunuh diri altruistik terjadi di dalam lingkungan komunitas yang masih primitif. Sebab, bunuh diri tipe ini cenderung dinilai sebagai sebuah tradisi atau kepercayaan.

Ketiga, bunuh diri anomik yang dipicu oleh perubahan sistem dalam masyarakat, baik sistem ekonomi, sosial, dan budaya sehingga menyebabkan terganggunya sistem kolektif. Ketidakpastian akibat perubahan sistem akan berdampak pada psikologis individu.

Lantas, bagaimana pendekatan sosiologi bisa menjelaskan maraknya aksi bunuh diri yang terjadi di era digital belakangan ini? Berikut penuturan Suprapto, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM):

Dari perspektif sosiolog, bagaimana Anda menilai dan menjelaskan fenomena bunuh diri yang marak terjadi belakangan ini?

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologis, fenomena bunuh diri itu kronologi pertamanya pasti individu yang bersangkutan memiliki problema sosial. Misalnya saja konflik atau kesalahpahaman dengan keluarga, peer group, teman kerja, pacar, atau malah dengan bank atau debt collector.

Lalu, masih dalam konteks sosial budaya, fenomena bunuh diri bisa juga disebabkan oleh aspek budaya. Seperti yang terjadi di Gunung Kidul, dimana ada kepercayaan pulung gantung; yaitu kepercayaan bahwa jika pada satu saat di sana terjadi angin besar dan suara burung bersahut-sahutan pasti itu pertanda ada yang bunuh diri.

Nah, pandangan atau kepercayaan semacam itu lantas bisa mensugesti orang-orang yang sedang memiliki masalah. Saat melihat tanda-tanda seperti itu, mereka berpikir ‘wah sudah waktunya saya dipanggil’, sehingga dia nekat bunuh diri karena dipicu adat yang berkembang.

Aspek-aspek sosial tadi, jika tidak teratasi, akan menimbulkan gangguan psikis. Sebab, gangguan psikologi itu tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi bawaan sejak lahir, tetapi ada juga yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.

Lebih lanjut, jika kondisi gangguan psikis tersebut tidak bisa diatasi, individu yang bersangkutan bisa mengalami gangguan psikis seperti perut kembung, migrain, demam, tukak hati, sariawan, gangguan peredaran darah, dan sebagainya.

Mengungkap Fenomena Bunuh Diri dari Kaca Mata Sosiologis

Jika sakit fisik tersebut berkelanjutan dan tak kunjung sembuh, tidak menutup kemungkinan orang yang bersangkutan akan terdorong untuk mengakhiri hidupnya.

Secara garis besar, dari perspektif sosiologis, aksi bunuh diri dilakukan oleh orang-orang yang terkucil atau terlepas dari interaksi sosial. Mungkin karena keluargany atidak peka melihat ada anggotanya yang gelisah, sering merenung, atau mengurung diri.

Akibatnya, dia menjadi terkucil karena tidak bisa meminta pendapat orang lain atau berdiskusi untuk mencari solusi. Akhirnya, mereka cenderung memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup.

Apakah ada kondisi sosial tertentu yang menjadi garis merah pemicu kejadian-kejadian bunuh diri akhir-akhir ini? Jika ya, apa itu?

Ada. Salah satunya adalah perubahan lingkungan budaya dan ekonomi di era digital.

Sekarang ini fasilitas dan standar gaya hidup semakin meningkat, sehingga tidak semua orang bisa mencapai kondisi yang diharapkan atau yang dicapai oleh orang lain. Misalnya, ada orang yang melihat tetangganya punya harta, itu bisa mempengaruhi kondisi psikisnya.

Saat ini, lingkungan sosial menuntut masyarakat untuk memiliki dan menginginkan hal yang lebih. Nah, mereka yang terengah-engah dengan tuntutan sosial tersebut akhirnya memilih untuk meminjam uang atau berutang.

Banyak dari orang-orang yang berutang itu lalu tidak sanggup melanjutkan pembayaran utangnya, sehingga dia dikejar-kejar oleh tagihan yang akhirnya membuat dia depresi. Tak jarang akhirnya mereka lari dari masalah dengan cara bunuh diri.

Apa yang membedakan fenomena bunuh diri pada era digital dibandingkan dengan era sebelumnya? Apakah era digital memberi tekanan yang lebih berat sehingga kecenderungan bunuh diri meningkat?

Kemajuan teknologi membuat perubahan yang bisa memicu seseorang untuk bunuh diri. Terutama jika seseorang tergiur oleh kemewahan yang dipamerkan di media sosial. Orang-orang yang ingin menyamai kondisi mereka dengan orang lain, tetapi gagal, bisa mengalami depresi yang berujung pada bunuh diri.

Bagaimanapun, kita tidak bisa menyamaratakan seluruh kasus bunuh diri dipicu oleh efek samping dari era digital. Sebab, tidak semua lapisan masyarakat bersinggungan langsung dengan gawai dan media sosial.

Misalnya, masyarakat di Gunung Kidul, yang memilih bunuh diri karena kepercayaan. Jadi harus dibedakan kasus bunuh diri yang memang dipengaruhi faktor teknologi dan yang bukan.

Mengungkap Fenomena Bunuh Diri dari Kaca Mata Sosiologis

Bagaimana dengan beberapa kejadian bunuh diri yang disiarkan secara live di media sosial? Apakah itu merupakan upaya mencari pembenaran dari pelaku bunuh diri?

Saya melihatnya mereka adalah orang-orang yang gagal dalam menyikapi atau merespons kehadiran teknologi. Banyak orang Indonesia yang belum dewasa secara emosional dalam menyikapi teknologi.

Untuk mengetahui kedewasaan emosi seseorang, ada beberapa tahapannya. Pertama, dia mampu memahami dirinya sendiri dan tahu apa kelemahannya; kedua, dia mampu mengendalikan diri sendiri dan tahu batasan; ketiga, dia mampu memahami orang lain.

Nah, banyak anggota masyarakat yang baru sampai pada tahapan pertama, sehingga ketika mereka dihadapkan pada teknologi yang mereka inginkan hanyalah pamer. Entah pamer foto selfie, pamer harta kekayaan, bahkan pamer aksi bunuh diri.

Padahal, kalau dipikir-pikir dengan melakukan aksi bunuh diri secara live di medsos, berarti orang tersebut sebenarnya masih butuh diketahui orang lain. Itu membuktikan bahwa sebenarnya dia masih ingin dianggap eksistensinya.

Secara sosiologis, apa yang bisa dilakukan untuk menekan tren bunuh diri di kalangan masyarakat pada era digital?

Sekali lagi, bunuh diri terjadi ketika seseorang tidak mampu berinteraksi atau tercerabut dari lingkungan sosialnya. Maka dari itu, lingkungan sekitarnya lah yang harus aktif. Keluarga, lingkungan sekolah dan pendidikan, lingkungan kerja harus peka terhadap perubahan-perubahan perilaku seseorang.

Orang yang ingin bunuh diri tidak mungkin spontan. Pasti ada prosesnya. Misalnya, dia terlihat tidak doyan makan, sering merenung atau mengurung diri, atau tidak bisa istirahat nyenyak.

Gejala-gejala itu yang harus segera ditangkap oleh orang-orang disekitarnya agar bantuan bisa diberikan sedini mungkin. Sebab, jika stress ringan dibiarkan begitu saja, bisa berujung pada depresi. Sementara itu, depresi yang berkelanjutan akan berujung pada perilaku yang tidak terkendali.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper