Bisnis.com,JAKARTA - Desakan sejumlah kader Partai Golkar agar KPK dan Komisi Yudisial, menyelidiki peristiwa kehadiran Setya Novanto, dengan Hatta Ali, sebagai penguji, dalam acara sidang Gelar Doktor Adies Kadir pada 22 Juli 2017 di Kampus Universitas 17 Agustus Surabaya sangat urgen demi menjaga netralitas hakim untuk mengadili perkara Korupsi e-KTP.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan pasalnya, nama Setya Novanto ikut disebut-sebut terlibat di dalam kasus tersebut dan sudah berstatus tersangka. Penyelidikan ini, lanjutnya sangat urgen karena peristiwa hilangnya nama Setya Novanto dalam putusan perkara korupsi KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, diduga keras sebagai modus korupsi baru yang berpotensi menjadi sistem korupsi di internal Pengadilan Tipikor yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI.
“Kehadiran Setya Novanto maupun Hatta Ali dimaksud, sudah masuk kategori pelanggaran etika dan berpotensi menjadi pelanggaran Hukum. Hatta Ali dan Setya Novanto seharusnya menolak hadir sebagai Dosen Penguji Akademis dan Nonakademis dalam forum ilmiah untuk menguji mahasiswa S3 di Untag, Surabaya, karena keduanya dalam waktu yang sama, berada dalam posisi konflik kepentingan. Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung, anak buahnya sedang memeriksa perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, sedangkan Setya Novanto dan sejumlah anak buahnya di DPR sudah ditetapkan sebagai tersangka dan beberapa kali menjadi saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto dan Andi Narogong,” ujarnya, Selasa (22/8/2017).
Selain itu, paparnya, Mahkamah Agung sedang memerlukan dukungan DPR terkait revisi UU Mahkamah Agung tentang usia pensiun Hakim Agung, sementara Setya Novanto memerlukan simpati dan budi baik dari hakim untuk mendapatkan keadilan dalam perkara korupsi e-KTP.
Adanya konflik kepentingan secara berlapis inilah yang mengakibatkan keberadaan Setya Novanto dan Hatta Ali dalam forum ujian S3 menjadi haram hukumnya, karena nama Setya Novanto dinyatakan dalam surat dakwaan dan tuntutan jaksa sebagai orang yang secara bersama-sama dengan Terdakwa Irman, Sugiharto, Andi Narogong, Nazaruddin dan lain sebagainya melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,4 triliun, hilang secara misterius dari putusan hakim.
“Secara teknis yuridis, nama Setya Novanto dan peran aktifnya dalam tindak pidana korupsi dimaksud harus tetap disebutkan, sebagaimana pola ini sudah lama diterapkan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor dalam banyak putusan perkara yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang. Selama ini KPK menjerat pelaku lain setelah pelaku utama atau pelaku turut serta diajukan dalam berkas perkara terpisah untuk disidangkan dan diputus terlebih dahulu, kemudian putusannya itu dijadikan sebagai dasar untuk menguatkan bukti-bukti hasil penyidikan yang sudah dirumuskan dalam surat dakwaan dan tuntutan pelaku lainnya yang segera diajukan,” urainya.
Dengan demikian, hilangnya nama Setya Novanto dimaksud, patut diduga berhubungan erat dengan upaya memangkas strategi KPK dalam menindak pelaku lainnya demi meloloskan Setya Novanto dari proses pemidanaan kasus korupsi e-KTP. Bila modus seperti ini yang terjadi, maka ini merupakan upaya pembusukan yang paling dasyat terhadap kinerja KPK, karena dilakukan ketika perkara sudah masuk dalam pemeriksaan persidangan Pengadilan Tipikor, karena KPK tidak bisa melakukan supervisi, karena terkendala prinsip kebebasan hakim dan kemandirian badan peradilan yang melarang segala campur tangan dalam bentuk apapun dan dari.pihak manapun.
“Untuk mengetahui bagaimana proses penghilangan nama Setya Novanto dalam putusan Majelis Hakim dan siapa yang berperan menghubungkan Majelis Hakim dengan kekuatan hirarki di Mahkamah Agung, serta siapa yang bekerja demi Setya Novanto, memang tidaklah mudah, karena peran invisible hand yang sulit dideteksi selama ini. Kita hanya dapat mereka-reka dengan melihat komposisi Majelis Hakim Tipikor yang terdari dari 5 anggota Majelis Hakim, 3 anggota dari Hakim Karier dan 2 anggota dari Hakim Ad Hoc. Hakim Karier menempati jalur struktur secara hirarki dengan Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Mahkamah Agung RI, karena itu, loyalitas Hakim Karir adalah kepada Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan/atau Ketua Mahkamah Agung,” tuturnya.
Menurut Petrus, seandainya hilangnya nama Setya Novanto dalam Putusan Hakim, menjadi bagian dari strategi untuk memperlemah KPK sekaligus demi membebaskan Setya Novanto dari sangkaan melakukan korupsi, maka yang harus diwaspadai saat ini adalah mengawasi secara ketat upaya praperadilan yang konon tengah disiapkan Setya Novanto, karena dikhawatirkan putusan Majelis Hakim dalam Perkara terdakwa Irman dan Sugiharto digunakan sebagai bukti dan dengan bukti itu pula Hakim praperadilan membatalkan status tersangka Setya Novanto dan majelis hakimnya akan berlindung di balik asas Kebebasan Hakim dan Kemandirian Peradilan.
“Kita tetap patut menduga bahwa Pansus Hak Angket KPK dan Penghilangan nama Setya Novanto dalam putusan Hakim, memberi pesan kuat, betapa KPK tengah menghadapi ancaman pelemahan bahkan pembubaran secara sistemik melalui instrumen hukum dan politik [Mahkamah Agung dan DPR]. Ada beberapa peristiwa penting yang mengindikasikan bahwa saat ini sedang dibangun skenario untuk meloloskan Setya Novanto dari proses hukum Tindak Pidana Korupsi e-KTP antara lain Pansus Hak Angket KPK; Hilangnya nama Setya Novanto dari putusan perkara; Kehadiran Setya Novanto berstatus tersangka dalam acara sidang terbuka bersama Hatta Ali, di Fakultas Hukum Untag; dan akan ada praperadilan yang bertujuan membatalkan status Tersangka Setya Novanto,” pungkasnya.