Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Pemilu: Siapa Pancasilais, Siapa Tidak Pancasilais?

JK mengungkapkan banyaknya pejabat yang menggunakan Pancasila sebagai jargon belaka. Akan tetapi, sayangnya mereka minim dalam hal implementasi atas nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Kabar24.com, JAKARTA—Ada yang menarik dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada sebuah acara simposium bertajuk ekonomi Pancasila di Gedung MPR, Rabu lalu, terkait implementasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Di depan para hadirin, mulai pimpinan MPR hingga para pimpinan lembaga negara dan para akademisi serta mahasiswa, JK mengungkapkan banyaknya pejabat yang menggunakan Pancasila sebagai jargon belaka. Akan tetapi, sayangnya mereka minim dalam hal implementasi atas nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.

Tidak sedikit dari mereka yang menuding seseorang tidak Pancasilais. Mereka yang berseberangan pendapat juga disebut tidak Pancasilais, sebagaimana juga dengan mereka yang tidak memberikan dukungan politik, ujar JK.

Akan tetapi sayangnya mereka tidak memberikan penjelasan sila keberapa yang dilanggar dari Pancasila sehingga menjadi tidak Pancasilais.

Dalam konteks itulah JK, yang sering melempar joke yang cukup menggigit dalam setiap pidatonya, mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan perilaku para anggota Panitia Khusus RUU Pemilu.

Kali ini, JK membidik mereka yang sibuk membahas RUU Pemilu, namun belum mencapai titik temu dalam mengambil keputusan atas sejumlah isu krusial termasuk soal presidential threshold (PT) meski telah dibahas berbulan-bulan.

"Kalau Undang-Undang Pemilu ini macet, kita enggak jalankan sila keempat, jadi silanya yang penting," kata JK.

Padahal, ujarnya, prinsip dalam setiap pembahasan RUU Pemilu adalah musyawarah mufakat untuk mencapai putusan yang bulat sesuai sila keempat Pancasila. Meski demikian, voting bisa menjadi jalan terakhir kalau musyawarah untuk mufakat tidak dicapai, ujarnya.

Pernyataan bernada sindiran dari JK tersebut agaknya menggambarakan bagaimana dinamika yang tengah berlangsung di Gedung DPR saat ini.

Beberapa kali Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menyatakan isu krusial tersebut akan segera disepakati. Akan tetapi, janji tinggal janji, sampai hari ini belum dicapai kesepakatan. Tentu, kuatnya tarik-menarik kepentingan partai politik terkait isu tersebut menjadi alasan yang sulit dibantah.

Mereka diharapkan bersepakat untuk mengambil putusan atas isu-isu tersebut pada sidang paripurna 20 Juli mendatang. Hasilnya? Tunggu saja!

Dari aspek politik, JK yang mewakili pemerintah, tentu berkepentingan dengan posisi pemerintah sekarang dengan standing position ambang batas bagi parpol untuk mencalonkan presiden pada Pemilu 2019 diperlukan.

Apalagi, Mendagri Tjahjo Kumolo berkukuh untuk tetap memasang ambang batas PT 20% untuk raihan suara nasional bagi parpol maupun gabungan parpol yang akan mengajukan calon presiden.

JK beralasan PT telah digunakan dua kali, yakni 2009 dan 2014 dan ternyata berhasil. Namun demikian, kini dinamika di DPR berbeda, terutama setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggugurkan argumen pemerintah.

Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pada Pemilu 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan serentak. Dengan demikian, penerapan presidential threshold mutlak gugur dengan sendirinya.

Pemerintah bersama PDI Perjuangan, NasDem, dan Partai Golkar bersikeras dengan opsi presidential threshold 20% atau 25%.

Sikap pemerintah yang ngotot tersebut berlawanan dengan partai lainnya yang menginginkan PT dihapus atau hanya sebesar 10% hingga 15%.

Bahkan, Partai Demokrat dan PAN tidak menginginkan ambang batas sama sekali alias nol persen.

Pertanyaannya, sampai kapan tarik-menarik kepentingan antarpartai ini akan berakhir? Atau, sampai kapan kepentingan eksekutif dan kepentingan legislatif akan bertemu pada RUU Pemilu ini dengan tetap mengutamakan nilai-nilai Pancasila, agar Pancasila bukan jadi sekedar jargon?

Satu hal yang jelas, Pansus telah menyiapkan lima paket opsi untuk dipilih agar segera bisa diputuskan pada Rapat Paripurna.

Kelima isu krusial tersebut adalah ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, sistem pemilu, sebaran kursi per daerah pemilihan, dan metode konversi suara.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper