Kabar24.com, JAKARTA -- Pembahasan RUU Pemilu hingga kini masih belum menemukan titik kompromi sehingga pemerintah mengancam akan menggunakan UU Pemilu lama.
Kendati demikian, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai, keterlambatan pembahasan RUU Pemilu tidak bisa ditimpakan kepada salah satu pihak.
Hidayat mengingatkan bahwa keterlambatan pembahasan produk legislatif tersebut adalah akibat faktor pemerintah.
Menurut Hidayat, pemerintah selalu ngotot dengan ambang batas tertentu untuk syarat bagi parpol mengajukan calon presiden dan untuk masuk parlemen. Padahal, ujarnya, harusnya semua saling berdialog untuk menemukan titik tengah," ujar Hidayat, Selasa (11/7/2017).
Menurut politisi PKS itu, opsi untuk kembali ke UU yang lama juga tidak memungkinkan. Pasalnya, kondisi politik sudah berubah.
"Tidak mungkin kembali pada UU yang lama, tapi memerlukan UU yang baru, karena ada provinsi baru, ketentuan baru, dengan gabungan Pilpres dan Pileg," ujar Hidayat.
Baca Juga
Dia menyarankan agar pemerintah bersama DPR kembali melanjutkan pembahasan dan voting adalah langkah yang biasa jika terdapat kebuntuan dalam rapat.
"Kalau tidak ketemu yah voting. Dan itu hal yang biasa. Berkali-kali pemerintah dan DPR melakukan voting. Tidak perlu dikhawatirkan dan mudah-mudahan bisa selesai maksimal 20 Juli mendatang," kata Hidayat.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mengatakan pemerintah memiliki opsi terakhir agar RUU Pemilu kembali ke undang-undang yang lama. Hal itu dilakukan, jika kesepakatan pemerintah dan Pansus RUU Pemilu di DPR masih buntu.
Sementara itu, jika pemerintah bersama PDIP dan Partai Golkar berkeras memakai 20% untuk presidential threshold, sedangkan fraksi-fraksi lainnya tidak sepakat, pilihan lain masih terbuka.
Anggota Pansus RUU Pemilu Totok Daryanto dari Partai Amanat Nasional (PAN) berpendapat keputusan tersebut bisa ditentukan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Juli mendatang.
"Sebetulnya bisa dibawa ke rapat paripurna DPR kalau nggak ketemu," ujarnya.
Buntunya pembahasan dalam pansus RUU Pemilu disebabkan tarik ulur antara pemerintah dan sejumlah fraksi DPR. Fraksi Gerindra, PAN, dan Hanura, misalnya, semula menghendaki ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ditiadakan.
Belakangan ketiga partai itu mengambil jalan tengah sehingga partai yang bisa mengajukan capres dan cawapres meraih minimal 10% sampai 15% kursi di DPR.