Kabar24.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump membeberkan informasi yang sangat rahasia tentang kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kepada Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov.
Informasi tersebut disampaikan sejumlah pejabat AS kepada media di AS sebagimana dikutip BBC.com, Selasa (16/5/2017).
Saat berkunjung ke Ruang Oval di Gedung Putih pekan lalu, Sergei Lavrov diperlihatkan dokumen rahasia oleh Trump sebagaimana keterangan beberapa pejabat AS.
Padahal, menurut mereka, informasi itu berasal dari mitra AS yang belum memberi izin kepada AS untuk membaginya kepada Rusia. Akan tetapi, jajaran Trump membantah laporan tersebut.
"Cerita itu tidak benar," kata Dina Powell, Deputi Penasihat Keamanan Nasional di bidang strategi, yang menghadiri pertemuan itu.
Menurutnya, presiden hanya mendiskusikan ancaman-ancaman umum yang dihadapi kedua negara.
Penasihat keamanan nasional Trump, Jenderal HR McMaster, juga menegaskan bahwa laporan itu salah.
Tudingan bahwa Trump terkait dengan pemerintah Moskow beredar sejak kampanye pilpres AS tahun lalu. Namun Trump menyebutnya sebagai "berita palsu".
Trump justru menuding rivalnya dalam pilpres tahun lalu, Hillary Clinton, ceroboh dalam menangani dokumen-dokumen rahasia negara.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dalam percakapan dengan Menlu Rusia dan Duta Besar Rusia, Sergei Kislyak, Presiden Trump mengungkap hal-hal yang bisa berujung pada pengungkapan sumber informasi, kata sejumlah pejabat AS kepada harian Washington Post dan the New York Times.
Diskusi itu membahas rencana ISIS dan pemaparan intelijen yang muncul dari sekutu AS. Informasi tersebut terlalu sensitif untuk dibagi ke Rusia, yang bukan sekutu AS.
Semua yang hadir dalam pertemuan tersebut, menurut Washington Post, belakangan menyadari kesalahan itu dan buru-buru 'menambal kerusakan' dengan menginformasikan dua badan intelijen AS, CIA dan NSA.
Sementara itu, Anggota Senat AS dari Partai Demokrat, Dick Durbin menilai aksi Trump "berbahaya" dan "sembrono".
Adapun Kepala Komite Hubungan Luar Negeri di Senat dari Partai Republik, Bob Corker, mengatakan laporan itu "sangat, sangat meresahkan" jika terbukti benar.