Bisnis.com, PRANCIS – Renault, produsen mobil asal Prancis, terpaksa menghentikan sementara proses produksi di sejumlah pabriknya guna mencegah penyebaran serangan siber sekala global.
Serangan itu memanfaatkan alat peretas yang diyakini telah dikembangkan oleh Badan Keamanan Nasiona (NSA) Amerika Serikat dan telah menginfeksi puluhan ribu komputer di hampir 100 negara.
Dikutip dari Reuters, Sabtu (13/5/2017), serangan tersebut juga menyasar sistem komputern Renault. Juru bicara perusahaan tersebut mengatakan pihaknya lantas menghentikan produksi di beberapa lokasi pada Sabtu.
“Tindakan proaktif telah dilakukan, termasuk penghentian sementara aktivitas industri di beberapa lokasi,” kata juru bicara tersebut.
Juru bicara tersebut menyakan Pabrik Renault di Sandouville, sebelah Bara Laut Perancis, menjadi salah satu pabrik yang menghentikan produksi. Kendati begitu, dia menolak untuk menyediakan daftar lengkap situs yang terkena dampak.
Pabrikan otomotif tersebut merupakan perusahaan Perancis pertama yang melaporkan terkena serangan siber berskala global tersebut. PSA Group, rival Renault di Prancis, kata juru bica tersebut, tidak terkena serangan.
Salah seorang sumber Reuters mengatakan Kejaksaan Paris telah membuka penyelidikan akibat serangan siber cyber tersebut. Langkah itu dilakukan terhadap sejumlah perusahaan yang telah menjadi korban penyerangan.
“Pemeriksaan tersebut mencakup Renault dan korban lainnya,” kata sumber tersebut, Sabtu (13/5/2017).
Seperti diketahui, serangan siber berskala global ini menyerang berbagai perusahaan, rumah sakit dan universitas di berbagai negara. Serangan tersebut bahkan telah mengganggu sistem layanan kesehatan Inggris dan sistem korporasi berskala global, FedEx.
Peretas menjebak korbannya agar membuka email spam yang tampaknya mengandung faktur, tawaran pekerjaan, peringatan keamanan dan jenis data sah lainnya. Namun, email itu ternyata melampirkan malware berbahaya.
Peretas dalam data enskripsi di kopmputer menuntut pembayaran sebesar US $300 – $600 agar memulihkan akses yang terserang malware tersebut.
Periset dari penyedia jasa keamanan perangkat lunak, Avast, mengatakan pihaknya sudah menemukan sekitar 57.000 komputer yang terinfeksi di 99 negara. Rusia, Ukraina dan Tawaian menjadi menjadi sasaran utama.