Kabar24.com, JAKARTA — Vonis hukuman 2 tahun penjara untuk terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat menjadi momentum guna mendesak DPR menghapus pasal penodaan agama dalam revisi Undang-undang KUHP.
Demikian dikemukakan oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani kepada wartawan, Kamis (11/5/2017).
Menurutnya, pasal penodaan agama dalam KUHP telah banyak memakan korban. Selain itu, ujarnya, beleid tersebut juga kerap digunakan sebagai kepentingan politik atau kelompok tertentu.
"Saya kira ini momentum yang tepat untuk dihapuskan. Karena ini pasal karet maka dia akan dengan mudah dijadikan alat untuk menyerang orang lain, mendorong kepentingan politik yang lain yang tujuannya bukan murni penegakan hukum," kata Yati.
Aturan mengenai penodaan agama tertuang dalam pasal 156a KUHP. Ketentuan tersebut berbunyi: dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sementara itu, pegiat Relawan Nusantara (RelaNU) Sulaiman Haikal mengatakan bahwa batasan penistaan harus disusun secara tegas dalam KUHP. Tujuannya agar dapat mencegah jatuhnya korban di masa depan.
Baca Juga
Menurutnya presisi mengenai fase penistaan harus benar-benar disusun rapi dan jelas batasannya.
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Indonesia untuk meninjau ulang hukum yang menjerat Ahok. Desakan disampaikan Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Asia Tenggara PBB (OHCHR) melalui akun Twitter resminya.
Senada dengan OHCHR, Amnesty International juga menilai putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara bagi Ahok merupakan cerminan ketidakadilan di Indonesia.
Amnesty International meminta Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penodaan agama harus dihapus karena dapat dimanfaatkan untuk menghukum orang yang sebenarnya hanya menyampaikan pendapatnya