Kabar24.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo perlu melakukan langkah-langkah politik untuk meredam gejolak yang ditimbulkan akibat penggunaan hak angket yang diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelidiki Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan tidak cukup jika Presiden Jokowi hanya memberikan peryataan bahwa dia ada di belakang KPK.
“Misalnya dia bicara dengan fraksi-fraksi, dengan DPR secara resmi kemudian secara internal bisa dia panggil atau dialog dengan partai. Bahkan tidak hanya hak angket itu sendiri tapi secara umum mengenai kasus korupsi KTP elektronik dan yang terkait dangan Novel Baswedan,” paparnya dalam diskusi Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Minggu (7/5/2017).
Dia juga menilai ada komunikasi yang tidak lancar antara Presiden dengan PDI Perjuangan yang notabene mencalonkannya. Di satu pihak, Joko Widodo mendukung sepenuhnya sikap KPK, namun kenyataannya PDIP merupakan salah satu partai yang fraksinya di DPR mendukung pelaksanaan hak angket.
Menurutnya, hak angket memang terkesan sengaja digunakan oleh DPR karena hak itu mewajibkan KPK untuk memenuhi panggilan serta menyerahkan semua dokumen yang diminta. Akan tetapi, KPK, paparnya juga dilindungi oleh aturan bahwa suatu penyidikan hukum hanya akan dibuka di ruang persidangan, bukan di ruang politik.
“Enam fraksi sudah balik badan tidak mendukung hak angket. Sesuai UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, semestinya tim panitia khusus tidak bisa terbentuk karena tidak diisi oleh semua fraksi,” paparnya