Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terbukti! Pilkada DKI Selesai Sejak Anies Kalahkan Agus

Dengan asumsi dukungan suara terhadap Ahok-Djarot entah di putaran pertama atau kedua bakal mentok di kisaran 40%, maka sesungguhnya Pilkada DKI adalah pertarungan antara Agus-Sylvi dengan Anies-Sandi. Karena itu, siapapun di antara dua pasangan ini yang masuk ke putaran kedua berhadapan dengan Ahok-Djarot, niscaya pasangan tersebut akan tampil sebagai pemenang akhir.
Tomy Sasangka
Tomy Sasangka

Kabar24.com, JAKARTA - Barangkali Pilkada DKI Jakarta 2017 akan tercatat menjadi yang terpanas dan terdramatis dalam sejarah pemilihan gubernur secara langsung di negeri ini. Betapa tidak?

Eksploitasi politik identitas mengejawantah begitu vulgar, dan isu SARA yang memecah persaudaraan kebangsaan tampil tanpa malu-malu. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga masif di dunia maya.

Perhatian dan energi politik yang tersalurkan untuk menghadapi pilkada di Ibu Kota rasanya mirip dengan Pilpres 2014 yang  begitu keras dan membelah warga negara. Seperti diketahui, pendukung duet Jokowi-Jusuf Kalla dan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ketika itu sangat terpolarisasi, dan sisa-sisa perseteruan tersebut dinilai masih menyelimuti hajatan Pilkada DKI saat ini.

Sementara itu, harapan sejumlah kalangan agar proses Pilkada DKI lebih efisien secara politik dan tidak bertele-tele dengan hanya menghadirkan dua pasangan calon (head to head) tidak tercapai.

Awalnya ada harapan kalau akhirnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju menjadi calon gubernur, maka kubu lain bersatu dan hanya menyorongkan satu nama sebagai penantang.

Namun, dengan munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang diusung koalisi Partai Demokrat, PPP, PAN dan PKB, serta munculnya nama Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung Partai Gerindra dan PKS, kontestasi dalam Pilkada DKI menjadi lebih berwarna, seru dan berliku.

Yang menarik, kenapa PPP, PAN dan PKB yang notabene merupakan koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK, pada Pilkada DKI justru berbeda pilihan dengan PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Hanura dan juga Partai Golkar yang juga sama-sama pendukung pemerintah? Sesuatu yang pernah dipertanyakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Faktor Ahok rasanya menjadi penghalang utama. PAN misalnya, sejak awal tidak nyaman untuk mendukung Ahok. Bahkan, di saat terakhir sebelum PDIP mengambil keputusan, PAN siap bergabung jika partai banteng itu mengajukan Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, sebagai kandidat Gubernur DKI.

Di luar soal sepak terjang dan perangai Ahok yang acapkali menuai pro-kontra, sangat mungkin alasan PAN, PPP dan PKB enggan mendukung Ahok lebih karena faktor identitas Ahok sebagai nonmuslim.

Patut dicatat, sebagai partai yang berbasis massa Islam, akan sangat berisiko bagi ketiga partai itu memberikan dukungan kepada Ahok. Selain bisa dituding tidak aspiratif, risiko terbesar adalah ditinggalkan konstituen pada Pemilu 2019. Sesepuh PAN Amien Rais misalnya, dengan terbuka menentang pencalonan Ahok.

Maka, tatkala ketiga partai berbasis massa Islam itu bergabung bersama Partai Demokrat dengan mengajukan pasangan lain, hal itu merupakan pilihan masuk akal dan menemukan pembenaran sosiologi politik memadai.

Pertanyaan mengapa PAN, PPP dan PKB tidak memutuskan bergabung dengan Partai Gerindra dan PKS dengan mengusung satu nama, tentu saja hanya mereka yang tahu. Tapi patut diduga, tidak tercapai kesepakatan yang dinilai menguntungkan kedua belah pihak.

Ini juga termasuk kenapa akhirnya Demokrat memilih membentuk poros tersendiri dengan mengusung pasangan calon, alias tidak melebur dan membentuk koalisi besar yang melibatkan Gerindra dan PKS dalam apa yang sempat digadang-gadang sebagai Koalisi Kekeluargaan untuk menghadapi Ahok. 

Tentu saja Demokrat memiliki kalkulasi sendiri, apalagi Pilkada DKI disebut-sebut sebagai pemanasan atau bahkan secara politik bisa dianggap rangkaian hajatan besar Pemilu 2019, yang akan menyatukan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam perhelatan serentak.

Apabila dalam Pilpres 2014 Partai Demokrat memilih nonblok, barangkali partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono itu menilai sekarang ini adalah momentum tepat untuk membuat blok atau poros tersendiri.

POLITIK IDENTITAS

Dari sudut pandang politik identitas, duet Ahok-Djarot nyaris tidak memiliki basis dukungan formal sama sekali dari partai-partai berbasis massa Islam. Hanya PPP kubu Djan Faridz yang secara resmi memberikan dukungan, meski hampir tidak memiliki makna administratif dan hukum sama sekali. Di sisi lain, dukungan kubu Djan juga dinilai tak terlalu berpengaruh signifikan secara elektoral.

Hal ini berbeda dengan duet Agus-Sylvi yang memborong dukungan besar dari tiga partai berbasis massa Islam, yakni PAN, PPP dan PKB. Menjadi wajar apabila dalam sejumlah kesempatan kampanye, Agus-Sylvi tampak lebih sering menampilkan nuansa ke-Islam-an yang kental. Dalam batas-batas tertentu, hal serupa juga dilakukan duet Anies-Sandi, yang juga memiliki dukungan dari salah satu partai penting berbasis massa Islam, yaitu PKS.

Karena itu, sejumlah pengamat dan lembaga survei menilai basis dukungan pemilih utama yang disasar duet Agus-Sylvi dan Anies-Sandi begitu beririsan. Dengannya, perebutan pengaruh di antara dua pasangan calon ini di kantung-kantung suara pemilih Islam bisa dikatakan relatif ketat.

Di sisi lain, Ahok-Djarot mencoba menampilkan diri sebagai sosok yang lebih  pluralis dan pragmatis. Ini tentu saja merupakan pilihan realistis. Apalagi DKI Jakarta dianggap memiliki karakter politik berbeda dibanding daerah lain dalam cara mayoritas warganya memutuskan pilihan politiknya dalam plebisit. Populasi massa mengambang atau massa kritis (swing voter) yang tak terpengaruh politik identitas dinilai relatif sangat besar.

Forum debat tiga tahap yang digelar KPU DKI Jakarta menjadi ajang terpenting bagi duet Ahok-Djarot untuk memperlihatkan hasil kerja dan sekaligus pemaparan program untuk menyelesaikan aneka persoalan krusial di Ibu Kota. Dibanding dua kandidat lainnya, Ahok-Djarot tentu saja diuntungkan dengan forum debat karena mereka adalah petahana.

Namun, Pilkada DKI berbeda dengan pilkada di daerah lainnya, di mana kemenangan pasangan calon dalam raihan suara harus di atas 50%. Jadi apabila dari tiga kontestan saat ini tidak ada yang meraup 50% lebih pada coblosan 15 Februari 2017, dua peraih suara terbanyak harus diundi lagi dalam putaran kedua untuk memastikkan salah satu meraih dukungan lebih dari 50% suara sah.

Terkait skenario hasil Pilkada DKI, beberapa pengamat dan lembaga survei sudah memberikan prediksi dan analisis, yang bisa disederhanakan dan dirangkum sebagai berikut.

Pertama, jika Ahok-Djarot ingin memenangkan Pilkada DKI, peluang terbesar harus langsung menang di putaran pertama. Peluang untuk menang di putaran kedua memang masih terbuka, namun syaratnya harus memiliki modal perolehan suara di putaran pertama lebih dari 45%,  dan margin atau selisih suara dengan kandidat penantang mesti di atas 10%.

Alasannya, basis dukungan duet Agus-Sylvi dengan Anies-Sandi relatif mirip dalam banyak hal, dan perpindahan atau migrasi suara terhadap dua pasangan calon ini gampang terjadi. Faktanya, sejumlah lembaga survei mengonfirmasi bahwa naiknya dukungan terhadap salah satu pasangan calon ini diikuti dengan penurunan dukungan terhadap pasangan calon lainnya dengan persentase yang nyaris sama.

Dengannya, Ahok-Djarot sebenarnya hanya memiliki peluang sangat kecil untuk memperebutkan limpahan suara dari siapapun yang kandas di putaran pertama, entah Agus-Sylvi atau Anies-Sandi. Suara pendukung Agus-Sylvi dan Anies-Sandi hanya akan mengalir di antara dua kandidat ini, siapapun yang maju di putaran kedua menghadapi Ahok-Djarot.

Kedua, dengan asumsi dukungan suara terhadap Ahok-Djarot entah di putaran pertama atau kedua bakal mentok di kisaran 40%, maka sesungguhnya Pilkada DKI adalah pertarungan antara Agus-Sylvi dengan Anies-Sandi. Karena itu, siapapun di antara dua pasangan ini yang masuk ke putaran kedua berhadapan dengan Ahok-Djarot, niscaya pasangan tersebut akan tampil sebagai pemenang akhir. 

Ketiga, bisa saja secara mengejutkan justru duet Ahok-Djarot terpental di putaran pertama, sehingga putaran kedua menyisakan pertarungan keras Agus-Sylvi versus Anies-Sandi untuk memperebutkan suara pendukung Ahok-Djarot. Namun melihat kecenderungan hasil survei sejumlah lembaga, peluang skenario ini menjadi kenyataan nyaris musykil. 

 

Catatan Redaksi: Artikel ini pernah terbit pada Koran Bisnis Indonesia edisi 13 Februari 2017, dengan judul asli: Skenario Hasil Kontestasi di Batavia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper