Bisnis.com, JAKARTA -- DPR RI menunggu langkah Kejaksaan Agung terkait penyelidikan kontrak kawasan Grand Indonesia antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan PT Cipta Karya Bumi Inda.
Nyoman Dhamantra, anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM, BUMN, dan Standardisasi Nasional mengatakan pihaknya terus mencermati persoalan ini. DPR menghormati langkah hukum yang diambil oleh Kejaksaan Agung. Untuk itu, katanya, pihaknya belum akan menindaklanjuti aset negara itu secara politik.
"[Kasusnya] sudah ada di Kejaksaan [Agung] . Kamu tunggu dulu hasil penanganannya," kata Nyoman ketika dihubungi, Senin (6/3/2017).
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Bambang Setyowahyudi mengatakan pihaknya telah menerima permohonan untuk membawa perkara ini ke ranah hukum perdata. Sebelum mendafarkan tuntutan ganti rugi ke pengadilan, pihakna terlebih dahulu memeriksa kelengkapan berkas dokumen.
"Dokumennya baru di kirim ke kami [Jaksa Pengacara Negara] minggu lalu," kata Bambang
Dengan masuknya permohonan ini, selanjutnya Jaksa Tata Usaha Negara akan melakukan kajian besaran pendapatan yang seharusnya masuk ke kas negara. Setelah itu, katanya, pihaknya akan menindaklanjuti dengan melakukan gugatan perdata setelah terbitnya Surat Kuasa Khusus dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
"Nominal [kerugian negara] belum [ditetapkan]," katanya.
Awalnya Kejaksaan Agung menetapkan ada dugaan korupsi dalam perjanjian atas kawasan Grand Indonesia antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan PT Cipta Karya Bumi Inda. Pasalnya dalam perjanjian pada 2004 itu tidak terdapat objek gedung menara BCA dan Apartemen Kempinski antara kedua belah pihak. Akibatnya kejaksaan menilai potensi pendapatan yang masuk ke kas negara tidak optimal karena pendapatan dari dua objek itu tidak dihitung.
Penyidikan yang dimulai Februari 2016 itu kemudian diputuskan dihentikan pada awal 2017 karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai tidak ada kerugian negara. Skema Built, Operate, and Transfer (BOT) yang digunakan dalam perjanjian dinilai kasus ini lebih pada ranah perdata.