Bisnis.com, JAKARTA—Esteban Santiago, pelaku penembakan di Bandara Fort Lauderdale, Negara Bagian Florida, AS kemarin terancam hukuman mati.
Selain lima orang tewas, insiden tersebut menyebabkan enam orang cedera.
Santiago dituntut melakukan aksi kekerasan di bandara internasional yang menyebabkan kematian. Jika terbukti, pria berusia 26 tahun itu terancam dihukum mati.
Dalam dokumen pengadilan, Santiago mengaku kepada aparat bahwa dia merencanakan serangan dan membeli tiket satu arah ke Fort Lauderdale. Akan tetapi, aparat tidak tahu mengapa dia memilih Bandara Fort Lauderdale sebagai lokasi serangan. Dugaan aksi terorisme pun dicoret dari kemungkinan motif aksi.
"Tuntutan hari ini mewakili beratnya situasi dan mencerminkan komitmen aparat penegak hukum di tingkat federal, negara bagian, dan lokal untuk terus melindungi komunitas dan menghukum pihak yang menargetkan warga dan tamu kami," kata Jaksa AS, Wifredo Ferrer sebagaimana dikutip BBC.co.uk, Minggu (8/1/2017).
Santiago disebut menggunakan senjata api semi-otomatis dan diperiksa secara sah sebagai penumpang dalam dalam penerbangan dari Alaska.
Aparat tengah meninjau apakah gangguan kesehatan mental berperan dalam aksi Santiago mengingat sebelumnya Badan Investigasi Federal (FBI) merujuk peninjauan kesehatan mental untuk pria tersebut.
Bulan lalu, sebagaimana dipaparkan FBI dan kepolisian Anchorage, Santiago masuk ke dalam kantor FBI di Alaska dalam keadaan terganggu. Saat itu dia membawa wadah berisi peluru, namun meninggalkan senjata apinya di dalam mobil bersama anaknya yang baru lahir.
Dalam pemeriksaan kesehatan mental, dia mengaku kepada FBI bahwa dirinya mendengar suara-suara dan meyakini dia dikendalikan oleh badan intelijen AS.
Senjata Santiago disita, namun Santiago tidak dikenai pasal pidana. Senjata itu lalu dikembalikan pada Desember 2016 lalu. Belum jelas apakah Santiago menggunakan senjata yang sama dalam dugaan penyerangan di Bandara Fort Lauderdale.
Santiaho adalah mantan anggota Garda Nasional Alaska dan Puerto Rico yang bertugas di Irak sejak April 2010 hingga Februari 2011.
Dia kemudian diberhentikan pada Agustus 2016 dengan alasan kinerja yang tidak memuaskan.
Bibi Santiago mengatakan kepada surat kabar setempat bahwa keponakannya itu "sudah hilang akal" saat bertugas di Irak. Saudara kandung Santiago menambahkan bahwa dia telah menjalani perawatan psikologis.