Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank CIMB Niaga Tbk menilai pemahaman PT Sumatera Persada Energi terkait dengan kelonggaran waktu pembayaran yang diberikan pengadilan adalah keliru.
Perkara yang terdaftar dengan No. 14/Pdt.Sus-Pembatalan/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst tersebut mengenai Bank CIMB Niaga yang hendak membatalkan perjanjian perdamaian Sumatera Persada Energi (SPE). Adapun, SPE pernah menjalankan restrukturisasi utang pada 2014.
Kuasa hukum bank berkode emiten BNGA Swandy Halim mengatakan kelonggaran tersebut baru bisa diberikan oleh pengadilan setelah adanya cidera janji (wanprestasi) yang dilakukan debitur.
"Kalau debitur menolak disebut wanprestasi karena belum diberikan kelonggaran 30 hari itu keliru," kata Swandy seusai persidangan, Kamis (17/11/2016).
Dia berpendapat pengadilan niaga yang berwenang memberikan tambahan waktu itu, bukan dari pemohon. Adapun, kelonggaran waktu tersebut bisa diberikan setelah adanya permohonan dari kreditur.
Berdasarkan Pasal 170 ayat (3) Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 hari setelah putusan pemberian kelonggaran diucapkan.
Swandy juga menuturkan debitur belum tentu bisa menyelesaikan kewajibannya kepada pemohon kendati diberikan kelonggaran waktu. Hal tersebut karena debitur sedang menjalani proses penundaan kewajiban pembayaran utang yang kedua kalinya.
Pembayaran, lanjutnya, harus dilakukan atas seizin tim pengurus PKPU. Dengan demikian, kelonggaran yang bisa diberikan tersebut menjadi percuma.
Pihak bank hanya menginginkan adanya penepatan janji debitur sesuai perjanjian perdamaian versi 2014 untuk membayar cicilan utangnya. Debitur sudah tidak melaksanakan kewajibannya sejak Januari--Oktober 2016 dengan total tunggakan sebesar US$2,44 juta.
Debitur akan membayar cicilan utangnya setiap bulan dengan pembayaran terakhir pada 28 April 2020. Pemohon menyetujui proposal tersebut dan disahkan oleh majelis hakim menjadi perjanjian perdamaian pada 16 Oktober 2014.
"Pailit atau tidak itu kewenangan majelis hakim, kami hanya ingin membatalkan perjanjian perdamaiannya," ujarnya.
Sebelumnya, kuasa hukum SPE Dida Hardiansyah menilai permohonan pembatalan yang diikuti dengan kepailitan dari BNGA bersifat prematur. "Menurut kami debitur wajib diberikan remedial selama 30 hari terlebih dahulu," ujar Dida melalui pesan singkat.
SPE saat ini masih menjalani proses penundaan kewajiban pembayaran utang dengan No. 107/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. Adapun, sebelumnya debitur pernah menjalani proses serupa dan perjanjian perdamaiannya telah disahkan pada 14 Oktober 2014.
Proses PKPU tersebut juga harus ditunda untuk menunggu putusan perkara pembatalan. Debitur mengusulkan adanya perpanjangan selama 60 hari dan telah disetujui secara aklamasi oleh para kreditur.
Perpanjangan tersebut akan digunakan untuk menunggu hasil putusan perkara pembatalan perdamaian. Putusan tersebut akan mempengaruhi proses perkara No. 107.