Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pentingnya Edukasi Seks Dini Lawan Predator Anak

Publik kembali dibuat terhenyak dengan kelakuan ABC, predator anak yang telah menjerat ratusan anak perempuan berusia 10 hingga 15 tahun untuk mau mengirimkan foto-foto organ genitalia mereka dengan iming-iming tak masuk akal yakni membersihkan aura negatif.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait  menekankan bahwa pendidikan seks perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini /Antara
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menekankan bahwa pendidikan seks perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini /Antara

Bisnis.com, JAKARTA— Publik kembali dibuat terhenyak dengan kelakuan ABC, predator anak yang telah menjerat ratusan anak perempuan berusia 10 hingga 15 tahun untuk mau mengirimkan foto-foto organ genitalia mereka dengan iming-iming tak masuk akal yakni membersihkan aura negatif.

Anak-anak yang terjerat dirayu dan dibujuk dengan iming-iming membuang aura negatif agar bisa terlihat menjadi lebih cantik. Lantas, apa yang membuat anak-anak yang sehausnya masih bermain dan belajar ini begitu berani untuk menyerahkan foto organ intim mereka kepada orang lain, terlepas dari tindakan ABC yang menyamar menjadi anak seumuran korban lainnya?

Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait kurangnya pendidikan seks dalam keluarga mejadi salah satu faktor utama yang memungkinkan terjadinya hal ini.

Aris menekankan bahwa pendidikan seks perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini ketika mereka mulai bisa melakukan komunikasi. Adapun pendidikan seks tahap awal yang bisa diberikan kepada anak-anak adalah pengenalan akan organ intim yang ada dalam tubuh mereka serta fungsinya.

Selain itu, anak-anak juga harus diberi tahu cara menjaga, merawat, membersihkan dan fungsi organ intimnya sendiri.

“Mulai dari anak itu bisa berkomunikasi, setahun-dua tahun sudah bisa. Penis gunanya apa, vagina gunanya apa, ibu melahirkan dari mana. Pendidikan seperti itu yang harus dilakukan,” katanya.

Menurut Arist, orang tua harus berperan aktif dan menjadi sumber pertama serta yang terutama dalam pendidikan seks anak.

Ketika ditanya apakah pendidikan seks awal tidak akan mempengaruhi rasa pengaruh anak sehingga mencoba melakukan hal tidak semestinya, Arist berpendapat bahwa rasa percaya yang dimiliki anak dari kedekatan dengan orang tuanya akan membuat pesan edukasi seks dini tersampaikan dengan lebih baik sehingga menghindari anak melakukan tindakan ‘berani’. Karena, katanya, anak cenderung meniru apa yang diinformasikan oleh orang tuanya ketimbang orang lain.

“Nggak [akan terpengaruh melakukan hal tidak senonoh] jika yang menyampaikan orang tua, tetapi kalau orang lain, mungkin, karena dia percaya pada orang tuanya,” terang Arist.

Dengan adanya pendidikan seks ini, kata Arist, anak-anak tahu dan mengerti bahaya yang mereka hadapi jika bagian paling intim dari tubuh mereka dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu, Arist menekankan agar orang tua menyadari perlunya pendidkan seks dini bagi anak.

“Supaya pada usia 10 tahun dia sudah tahu apa bahayanya. Seperti ini [merujuk korban ABC] dia pasti tidak tahu sehingga dia bisa memfoto sendiri vaginanya dan mengirimkan pada orang lain.”

Selain itu, menurut Arist memberi pengertian-pengertian terhadap anak terkait bahaya yang mengancam akan jauh lebih efektif ketimbang hanya memberi larangan yang hanya akan memicu rasa penasaran anak. Sebab, katanya, dalam kasus ini, predator seks bukan hanya mengancam secara terang-ternagan tetapi lebih kepada menyerang terlebih dahulu psikologi sang anak sehingga mau menyerahkan foto secara sukarela dengan iming-iming dibersihkan auranya dan dijadikan cantik.

Dengan mengetahui bahwa mengizinkan orang lain melihat bagian dalam tubuhnya adalah hal yang berbahaya, anak bisa mempertahankan diri untuk tidak ikut dalam bujuk rayu para predator anak.

Selain edukasi seks dini, Arist juga mengimbau agar orang tua lebih memperhatikan penggunaan internet oleh anak-anak di era yang dia sebut telah dibanjiri ‘tsunami teknologi dan informasi’. Pengecekan rutin perangkat pintar yang digunakan anak-anak dianggap perlu.

Dewasa ini, menurut Arist, akibat dampak tsunami informasi, pekembangan psikologis dan hormonal anak jauh lebih cepat dibandingkan dengan perkembagan secara fisik. Tsunami informasi juga membuat anak-anak mengkonsumsi informasi yang belum waktunya mereka dapatkan dengan lebih leluasa. Untuk itu, kedekatan dan kelancaran informasi antara orang tua dan anak serta pengawasan penggunaan teknologi sangat diperlukan.

“Sekarangtelah terjadi tsunami teknologi dan informasi, ini yag harus dipahamio orang tua. Dalam kedekatan dengan orang tua harus menanamkan nilai-nilai yang  baik sehingga dia [anak] mencontoh yang baik … Anak diberikan pengertian dampak negatif yang merugikan … ” pungkas Arist.

Senin lalu, (3/10/2016) Ditreskrimsus Polda metro Jaya melakukan perilisan kasus predator anak. ABC yang menjadi tersangka diduga telah menjerat hinga 150 anak untuk mau memberikan gambar bagian genitalia anak perempuan berusia 10-15 tahun dengan iming-iming membersihkan aura negatif agar para korbannya tampak lebih cantik.

Selain meminta mengirimkan gambar bagian genitalnya, ABC juga meminta anak-anak tersebut untuk mengirimkan video mereka tanpa sehelai benang dan melakukan hal-hal yang sepatutnya hanya dilakukan orang dewasa. ABC juga melakukan komunikasi via media sosial [chatting] dan telepn berbau seksual degan anak-anak yang menjadi korbannya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper