Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Laporan dari Inggris: Sepekan Setelah Meninggalkan Uni Eropa

Data dari The Migrant Observatory, Universitas Oxford menunjukkan jumlah populasi yang lahir di luar Inggris (foreign-born population) meningkat lebih dari dua kali lipat dari 3,8 juta pada 1993 menjadi lebih dari 8,3 juta jiwa pada 2014. Pada kurun waktu yang sama jumlah warga negara asing di Inggris melesat dari 2 juta menjadi 5 juta jiwa.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Namanya Luke Dominey. Lahir di Cheltenham, sebelah barat daya Inggris, 39 tahun lalu, Luke lalu berpindah ke beberapa kota. Setelah menyelesaikan studi, dia sempat bekerja di Italia, Irlandia, dan kembali lagi ke Inggris. Luke saat ini menetap di Leeds.

Berbagi rumah bersama pelajar dari Indonesia, Luke membagikan keramahan Inggris. Dia tak segan turun ke dapur, memasak untuk makan malam bersama –spesialisasinya adalah pasta dengan saus tomat- atau menjerang air dan menyuguhkan beraneka teh dan biskuit. Sesekali Luke dan teman barunya menjelajahi kota-kota kecil nan elok di pinggiran Leeds pada akhir pekan.

Dari Luke, mari kita mengenal Emma Mawer. Emma yang berambut pirang dan murah senyum. Warga Horsforth, sekitar 20 menit dari pusat kota Leeds, menghabiskan dua hari dalam sepekan, setiap Selasa dan Jumat, untuk bekerja sukarela di sebuah kafe yang menginduk pada bangunan gereja.

All Hallows’ Café, begitu nama kafe ini adalah bagian dari The Real Junk Food Project. Inisiatif yang digagas Adam Smith, warga Leeds lainnya, itu bertujuan mengolah bahan makanan yang nyaris kedaluwarsa dari beragam supermarket dan restoran. Hasilnya? Beragam menu, dari makanan pembuka hingga kue dan puding sebagai sajian penutup yang siap disantap.

Pengunjung bisa memberikan donasi berapa pun setelah selesai memesan makanan. Tak ada uang juga bukan halangan bagi siapa saja untuk ikut mencicipi sajian kafe. Pengunjung bisa memberikan tenaganya, mulai dari mencuci piring atau sekadar menyapu lantai. Kafe selalu disambangi pengunjung; imigran, pencari suaka, dan penduduk sekitar. Pada Ramadan kali ini, kafe juga membuka pintunya dan membuat acara istimewa berbuka bersama setiap Jumat.

Kehangatan dan paras Inggris yang ramah yang datang dari Luke dan Emma seolah-olah tenggelam di tengah peningkatan ujaran kebencian (hate crime) selepas negara ini memilih hengkang dari Uni Eropa.

Kepolisian, seperti dikutip Reuters, menyebutkan laporan ujaran kebencian yang disampaikan melalui daring naik hingga 57%. Banyak laporan yang berasal dari muslim Inggris dan imigran Eropa Timur. Ujaran kebencian ini disampaikan dalam beragam bentuk, mulai dari teriakan “pulang saja kalian ke negara asal”, brosur yang disebarkan, dan coretan di tembok yang antara lain dijumpai di komunitas Polandia di London. Belum lagi ujaran kebencian yang disyiarkan melalui media sosial, yang juga dikabarkan membumbung hingga lima kali lipat setelah Brexit.

Dua hari lalu, video tentang tiga remaja di dalam trem di Manchester yang dengan kasar meminta Juan Jasso, mantan tentara berkewarganegaraan Amerika Serikat yang tinggal di Inggris selama 18 tahun, untuk turun dari trem misalnya juga mengundang kemarahan publik.

Polisi bergerak cepat dan menangkap tiga remaja ini.  Belum hilang rasa terkejut, publik kembali dibuat tercengang oleh suara tercekat Karen saat dia menelepon LBC Radio. Karen berpindah dari Jerman ke Inggris pada 1973 setelah menikah dengan pria warga negara Inggris. Karen tetap bertahan di Inggris, tempat yang ia kenal sebagai rumah, meski suaminya telah meninggal dunia. “Saya tak memiliki siapa-siapa lagi di Jerman,” ujarnya. Penyiar radio berupaya menenangkan Karen yang setengah terisak.

Tak hanya menimpa imigran, ujaran kebencian juga menimpa warga Inggris keturunan, termasuk Pakistan, sejumlah negara di Afrika, dan India. Pemerintah telah bereaksi menanggapi isu maraknya penyebaran kebencian ini dan menyatakan tidak akan mendiamkan ujaran kebencian serta bentuk kekerasan lain yang menimpa imigran dan penduduk keturunan di Inggris.

Kritik tak ayal diarahkan ke penggagas kampanye Leave –kelompok pendukung Inggris keluar dari UE. Sepanjang kampanye, kelompok ini mengulang-ulang pesan bahwa lepas dari Uni Eropa akan menguntungkan Inggris. Mengapa? Negara ini dijanjikan berdaulat sepenuhnya atas perbatasan dan menghentikan imigrasi yang menurut mereka sudah tidak terkontrol.

Imigran perlu dicegah sebab, lagi-lagi menurut versi mereka, warga pendatang ini merebut pekerjaan dan layanan publik yang seharusnya hanya layak dinikmati oleh penduduk lokal. Ketidaksukaan penduduk lokal pada UE salah satunya dipicu oleh faktor bahwa bergabungnya Inggris ke UE, yang memudahkan mobilitas, berpengaruh pada peningkatan jumlah populasi yang lahir di luar negara ini dan menetap di Inggris.

Data dari The Migrant Observatory, Universitas Oxford menunjukkan jumlah populasi yang lahir di luar Inggris (foreign-born population) meningkat lebih dari dua kali lipat dari 3,8 juta pada 1993 menjadi lebih dari 8,3 juta jiwa pada 2014. Pada kurun waktu yang sama jumlah warga negara asing di Inggris melesat dari 2 juta menjadi 5 juta jiwa.

Situasi terkini di Inggris memantik kecemasan Julia Chabasiewicz. Julia, yang datang dari Krakow, Polandia, baru saja meraih gelar sarjana dari jurusan Sosiologi dan Relasi Internasional di Universitas Leeds.

Pekan ini dia memasuki dunia kerja dengan bergabung menjadi staf di Pusat Bahasa Universitas Leeds. “Selama ini saya selalu merasa diterima. Saya yakin Leeds akan terus memperlakukan saya dengan baik,” kata Julia. Meski cemas dan dihadapi pada ketidakpastian akan nasib Inggris ke depan setelah Brexit, Julia tetap memilih bertahan dan berkarir di Inggris.

Ketidakpastian juga tak lantas membuat Aiping Xu dan Busayo Longe surut. Aiping lahir dan besar di Suzhou, China. Di London, Aiping mendirikan Lean in Media, perusahaan rintisan yang membantu memasarkan film buatan produser Inggris ke China.

Aiping optimistis pasar film dan produk visual belum banyak terpengaruh setelah referendum. Adapun Busayo, yang berasal dari Lagos, Nigeria, akan membesarkan perusahaan rintisan yang memasarkan layanan komputasi awan, Form+, yang sudah dibentuk sejak Agustus 2012 di Inggris.

Keduanya masih memandang Inggris sebagai harapan. Tahun ini Busayo memperoleh pendanaan program inkubator bagi pebisnis muda. Lepas dari urusan bisnis, Aiping dan Busayo kompak menyebutkan derasnya informasi mengenai xenophobia dan rasisme tak mengurangi kecintaan mereka pada negeri ini, pada kebaikan yang pernah mereka terima selama mereka tinggal di Inggris.

“Saya banyak menjalin persahabatan dengan warga Inggris. Kami berbagi, bepergian, dan saling mendukung,” kata Aiping.

Ke depannya, kita berharap, saat orang berbicara tentang Inggris, wajah-wajah yang terbayang adalah wajah Luke, wajah Emma, wajah orang-orang yang menghormati orang lain tanpa memandang asal muasal, warna kulit, aksen, bahkan agama, dan memperlakukan sesama dengan baik. Bukan sebaliknya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ratna Ariyanti
Sumber : Bisnis Indonesia (01/07/2016)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper