Kabar24.com, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) belum lama ini mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No.4/2016. Dalam peraturan tersebut, MA melarang pengajuan permohonan peninjauan kembali putusan praperadilan. Peraturan tersebut mulai berlaku sejak Senin (18/4) 2016.
Penerbitan peraturan itu secara tidak langsung membuat praperadilan tidak bisa diajukan ke tingkat kasasi maupun banding. MA beralasan, peraturan itu untuk menghindari kesimpangsiuran dan memberi kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Pasalnya, sebelum berlakunya aturan itu, penuntasan perkara cenderung molor lantaran pihak yang bertikai masih berkutat di sidang praperadilan.
Menurut MA, esensi praperadilan adalah menguji sah tidaknya penetapan tersangka, penahanan, atau penghentian penyidikan terhadap seseorang. Sehingga seharusnya, hal itu bisa diselesaikan di pengadilan tingkat pertama, tidak merembet ke kasasi maupun PK.
Lantas, persoalan yang kemudian muncul adalah nasib permohonan peninjauan kembali sebelum aturan tersebut berlaku. Sejumlah pihak dibuat was-was terkait peraturan baru MA, termasuk, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK menganggap, peraturan itu membuat status pengajuan PK lembaga antikorupsi itu mengambang. Musababnya, hingga saat ini KPK masih memiliki perkara terkait PK di MA, termasuk pengajuan PK mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (PK) Hadi Poernomo.
KPK menetapkan Hadi sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak Bank Central Asia (BCA). Kasus itu terjadi saat dia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak. Hadi dianggap bertanggung jawab atas penerimaan permohonan keberatan wajib pajak Bank Central Asia.
Adapun, perkara tersebut berawal 12 Juli 2003 lalu. Kala itu, BCA mengajukan surat keterangan keberatan pajak transaksi non-performance loan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Awalnya, pihak DJP menolak permohonan bank tersebut.
Namun, sehari sebelum jatuh tempo, diduga atas perintah Hadi Poernomo, keputusan itu diubah menerima keberatan BCA. Akibatnya, negara mengalami kerugian senilai Rp5,7 triliun.
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Hadi Poernomo kemudian mengajukan praperadilan. Dalam prosesnya, dia memenangkan gugatan tersebut. KPK kemudian mengajukan langkah hukum hingga ke tingkat peninjauan kembali.
Berlakunya peraturan tersebut, membuat status hukum Hadi Poernomo di KPK tidak jelas. KPK khawatir, kebijakan itu akan menggugurkan PK yang mereka ajukan sebelumnya.
"Sudah diajukan, tetapi hingga saat ini memang belum ada kabar dari MA soal pengajuan tersebut," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, Jumat (3/6) kemarin.
Hal senada juga disampaikan penasihat hukum tersangka Richard Joost Lino mantan Direktur Utama Pelindo II, Maqdir Ismail. Lino merupakan tersangka kasus korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC), yang saat ini juga sedang proses pengajuan PK di Mahkamah Agung.
Menurut Maqdir, peraturan itu mengebiri hak masyarakat untuk mencari keadilan. Pelarangan pengajuan PK itu membuat masyarakat tak bisa lagi menuntut keadilan di mata hukum. Pasalnya, mereka tidak bisa mempertanyakan dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka maupun ditahan aparat penegak hukum.
Dia menilai, seharusnya yang dibatasi adalah kewenangan penegak hukum untuk mengajukan praperadilan. Karena itu dia menyayangkan penerbitan peraturan MA tersebut.
Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi memaparkan, peraturan itu tidak berlaku surut. Sejumlah pengajuan PK terkait putusan praperadilan yang sudah diajukan sebelumnya, masih ada kemungkinan untuk dirampungkan.
Hanya saja, Suhadi menjelaskan, hal itu sangat tergantung manajemen peradilannya. Kalau memang dalam prosesnya majelis hakim memberlakukan peraturan tersebut, maka pengajuan PK bisa dipastikan ditolak.
Belum Komprehensif
Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan tertulisnya menganggap, melalui peraturan No.4/2016 itu MA telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi praperadilan.
Hanya saja, perma itu belum cukup komprehensif mengatur praperadilan. ICJR melihat seharusnya peraturan itu mengakomodir seluruh masalah praperadilan termasuk kondisi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, soal pembatasan hak praperadilan bagi buronan (DPO).