Kabar24.com, JAKARTA – Setelah sempat tidak hadir pada panggilan perdana. Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi akhirnya memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi tersangka Doddy Aryanto Supeno.
Nurhadi datang sekitar pukul 09.50 WIB. Mengenakan baju batik warna coklat, dia tampak didampingi seorang stafnya. Tak banyak kata yang terlontar dari mulut pria asal Kudus, Jawa Tengah itu. Sesampainya di lobi KPK, dia segera memasuki gedung antirasuah tersebut.
“Mepet, nanti ya,” ujar Nuhadi di Kantor KPK, Selasa (24/5/2016).
Setelah delapan jam diperiksa, atau sekitar pukul 17.45 WIB, dia keluar gedung tersebut. Saat keluar, sejumlah pengawal pribadinya tampak mengawasi di antara kerumunan wartawan yang berjibun di lobi KPK. Dia keluar, dengan cepat menuju mobilnya di samping kiri pintu masuk KPK.
Sepanjang perjalanan menuju mobilnya, dia membantah semua pertanyaan dari awak media mulai dari dugaan penyembunyian Royani, menerima uang dari pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat, hingga soal tidak masuk kerja selama 30 hari, semuanya dia sanggah dengan tegas.
“Tidak ada, tidak ada, [kalau soal tidak masuk kerja] ada di kantor terus,” kata dia.
Nurhadi menjabat Sekretaris MA sejak Desember 2011. Sepanjang menjadi orang nomor tiga di lembaga tersebut, dia dua kali diperiksa KPK.
Pada Maret 2016, dia sempat diperiksa sebagai saksi Andri Tristianto Sutrisna, tersangka penerima suap dari Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi. Dalam pemeriksaan itu, Nurhadi menyatakan tidak ada sangkut pautnya dalam kasus tersebut.
Selang sebulan kemudian, atau tepatnya pada April 2016, nama Nurhadi kembali disebut dalam perkara dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Dalam kasus tersebut, dia bahkan diduga turut menerima duit dari perkara yang disengketakan di pengadilan tersebut.
Untuk membuktikan keterkaitan antara Nurhadi dan kasus tersebut, penyidik KPK telah mencegahnya ke luar negeri. Selain itu, mereka juga menggeledah ruang kerja dan rumah milik Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Hasilnya, uang senilai Rp1,7 miliar berhasil disita.
Nama Nurhadi juga disebut menyembunyikan Royani, KPK menengarai, penyembunyian saksi itu untuk menutupi pengungkapan kasus tersebut. Royani memegang peran kunci dalam kasus itu, dia diduga mengetahui seluk beluk praktik jual perkara di lembaga peradilan (MA).
Ketua KPK Agus Rahardjo sempat menyinggung, untuk mengahadirkan Nurhadi, akan lebih baik jika konstruksi kasusnya sudah terpenuhi. Dia juga menjelaskan ketika berbicara kasus terkait dengan MA, tidak bisa dilepaskan kasus per kasus. Tetapi harus dilihat sebagai suatu rangkaian yang mengindikasikan adaya permainan mafia peradilan.
Namun, untuk membongkar mafia peradilan tersebut, pihaknya masih membutuhkan waktu. Penyidik KPK di lapangan terus mengumpulkan bukti dan saksi. Dia optimis setelah itu terpenuhi, praktik jual perkara di MA pun akan segera terungkap.
Juru Bicara MA Suhadi angkat bicara soal pemeriksaan Nurhadi. Dia menuturkan MA tetap tidak berubah, mereka mempersilakan KPK untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Hanya saja soal status Nurhadi masih tetap menjadi Sekretaris MA atau tidak, dia menyerahkan prosesnya ke Badan Pengawas (Bawas) MA.
Dia memaparkan setiap pegawai negeri sipil (PNS) terikat dengan Peraturan Pemerintah No.53 tahun 2010. Dalam peraturan itu ada sanksi bagi setiap pegawai yang melanggar administrasi. Termasuk ancaman pemberhentian jika ada keputusan hukum yang inkracht atau terbukti terlibat dalam kasus tersebut.
Selain Nurhadi, kemarin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap Eddy Sindoro, Chairman PT Paramount Enterprise International.
Pemeriksaan terhadap Eddy, sebagai saksi untuk tersangka Doddy Aryanto Supeno. Doddy disebut sebagai bagian dari PT Paramount Enterprise International. Dia diduga sebagai “penghubung” untuk menangani perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Humas KPK menyatakan Eddy Sindoro tidak memenuhi panggilan penyidik lembaga antikorupsi tanpa alasan yang jelas. Eddy tercatat sudah dua kali mangkir dari panggilan penyidik KPK.
Nama Eddy disebut dalam perkara itu setelah KPK mencegahnya ke luar negeri. KPK bahkan menengarai ada keterkaitan antara saudara Billy Sindoro itu dengan kasus yang melibatkan panitera PN Jakarta Pusat tersebut.
Selain mencegahnya, KPK pada awal pengungkapan kasus itu pernah menggeledah PT Paramount Enterprise International. Hasilnya, setumpuk dokumen diamankan dari perusahaan yang memiliki anak usaha Paramount Land itu.
Berdasarkan laporan International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) nama Eddy Sindoro disebut memiliki hubungan dengan offshore leaks di negeri surga pajak.
Dia diketahui memiliki koneksi dengan enam perusahaan yang berada di negeri surga pajak. Hanya saja dari enam perusaahaan tersebut, ICIJ hanya menemukan perusahaan itu di C/-11th Floo Menari Asia, Jl Diponegoro Lippo-Karawaci, Indonesia.
Direktur Grup Lippo Danang Kemayan Jati tidak mengangkat sambungan telepon dari Bisnis.com saat mencoba dikonfirmasi soal hal itu. Setelah dihubungi kembali, nomor teleponnya kembali tidak bisa dihubungi.
Sejauh ini, KPK menyatakan ada sejumlah perkara yang diduga melibatkan grup bisnis tersebut. Adapun mereka sudah mencegah 3 orang dalam perkara tersebut. Ketiga orang itu yakni Chairman PT Paramount Enterprise International Eddy Sindoro, Sekretaris MA Nurhadi, dan Royani saksi kunci kasus tersebut.
Mencoreng Peradilan
Rentetan kasus jual beli perkara di lembaga peradilan tersebut mendapat sorotan dari Komisi Yudisial (KY). Juru Bicara KY Farid Wajdi memaparkan kasus tersebut telah mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Sepanjang Januari 2016 hingga Mei 2016, KY mencatat 11 perkara yang melibatkan aparat pengadilan yakni 3 pejabat pengadilan dan 8 hakim yang mencuat ke publik. Mereka menengarai ada lebih banyak kasus lagi, hanya saja tidak sempat muncul ke permukaan.
Karena itu, kata Farid, untuk meminimalisir pelanggaran, pihaknya meminta kepada MA untuk terbuka dalam proses pembenahan internal. Dalam hal itu, perlu ditegaskan bahwa pengawasan bukan suatu yang merusak, tetapi dimaknai sebagai langkah untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan agar tidak lebih terpuruk.
KY pun secepatnya akan mengambil langkah konstruktif dengan berkoordinasi dengan KPK dan MA, untuk memperketat pengawasan terhadap hakim dan memaksimalkan internalisasi kode etik terhadap para “wakil tuhan” tersebut.
Terlepas dari berbagai bentuk pembenahan, KY menilai kasus tersebut bisa dijadikan pelajaran bagi para oknum hakim untuk berhenti merusak citra peradilan di Indonesia.