Kabar24.com, JAKARTA - Panitia kerja (Panja) revisi undang-undang Pilkada khawatir akan molornya pembahasan revisi UU tersebut pasca Kementerian Dalam Negeri menolak usulan yang menyebutkan anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) yang ingin mencalonkan sebagai kepala daerah tidak perlu mundur dari jabatannya.
Anggota panja revisi UU Pilkada dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengungkapkan kekhawatiran akan berubahnya sikap pemerintah yang semula memiliki kesepahaman dengan DPR.
Menurutnya, perubahan sikap pemerintah tersebut akan membuat revisi UU pilkada berjalan lamban dan berpotensi menganggu tahapan proses pilkada.
“Kami berharap kesepahaman yang sudah dibangun sebelum reses kemarin, bonggol-bonggol atau isu besar yang sudah disepakati sejatinya tidak perlu diotak-atik,” ujar Yandri di Kompleks Parlemen, Jumat (20/5/2016).
Politisi PAN tersebut menuturkan komisinya akan menanyakan alasan perubahan sikap pemerintah yang semula setuju bahwa anggota legislatif tidak perlu mundur jika ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
“Alasan kami jelas kenapa DPR tidak harus mundur, sehingga sumber kepemimpinan daerah banyak. Kami juga tidak setuju kalau dibuat coba-coba (menyalonkan), tapi kalau dibuat peluang yang besar dan kesempatan yang sama, semacam kompetisi, maka piihan rakyat bisa lebih banyak,” ujarnya.
Pemerintah melalui Mendagri menyatakan akan tetap menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keharusan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mundur jika mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Tjahjo menyadari adanya keinginan para anggota dewan untuk tidak mundur dari jabatannya saat akan maju dalam Pilkada.
Menurut dia, keinginan tersebut yang nantinya akan membuat pembahasan RUU Pilkada menjadi alot.
Tjahjo meyakini bahwa DPR memiliki niat yang tulus dalam merevisi RUU Pilkada agar memperbaiki kualitas pilkada serentak 2017.
Sebelumnya, wacana agar anggota dewan tidak perlu mundur saat maju dalam pilkada kembali diutarakan oleh anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian.
Menurutnya, adanya aturan yang mewajibkan anggota dewan mundur tersebut akan membuat pemilihan kepala daerah sepi calon.
Hal ini karena banyak calon kepala daerah yang berasal dari anggota dewan baik di tingkat pusat maupun daerah.
"Jika mereka harus mundur ketika akan dicalonkan menjadi kepala daerah seperti terjadi di Pilkada 2015 tentunya akan mengurangi animo sebagian calon dari jalur ini," kata Hetifah.