Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah calon presiden Negeri Paman Sam boleh saja saling ngotot untuk mendapatkan jabatannya di Gedung Putih hingga November 2016. Namun, mereka perlu menyadari tantangan di depan mata, yakni resesi ekonomi.
Seperti diketahui, perekonomian Amerika Serikat (AS) hingga saat ini telah memasuki masa ekspansi terpanjang keempat dalam sejarah, yakni 83 bulan.
Namun, proses ekspansi yang terbilang panjang itu, berpotensi terluka oleh keuntungan perusahaan yang mulai menunjukkan batas atasnya, dan tekanan dari nilai upah pegawai yang terus naik.
Di sisi lain, kondisi ekonomi di AS juga belum benar-benar kuat bahkan cenderung lemah, karena pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya melaju pada kisaran 2% sejak Juni 2009.
"Jika presiden berikutnya tidak merasakan resesi, itu akan menjadi catatan tersendiri bagi AS," kata Gad Levanon, Kepala Ekonom Conference Board untuk kawasan Amerika Utara.
Peringatan serupa juga disuarakan oleh mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers. Dia memperkirakan secara bertahap ekonomi AS akan menuju resesi selama dua hingga tiga tahun ke depan, apabila pemerintah yang berkuasa saat ini tidak segera melakukan perubahan.
“Secara 50:50, kita mungkin akan merasakan resesi dalam 2--3 tahun ke depan,” katanya, Senin (16/6/2016).
Wakil Ketua The Fed Alan Binder pun mengakui, AS saat ini tidak dalam kondisi yang baik untuk menanggulangi ancaman resesi dalam beberapa tahun ke depan. Dia berujar, di tengah kebijakan moneter yang masih terbatas pergerakannya, kebijakan fiskal rupanya gagal mengimbangi, karena adanya perang ideologi di kalangan pemerintah.
Namun demikian, tekanan besar dan ancaman resesi yang dihadapi presiden baru AS pada tahun depan, bukanlah yang pertama kali. Barack Obama pernah merasakannya, ketika dia dilantik pada 20 Januari 2009, ketika pengaruh krisis di AS masih cukup besar.
Selain itu, ada pula George W. Bush yang memulai masa jabatanya pada 2001. Di mana saat itu, ekonomi Negeri Paman Sam baru saja terperosok dalam krisis, meskipun tak sebesar dan separah saat Obama dilantik pada 2009.
Ancaman bagi perekonomian AS secara jangka pendek terbesar justru muncul dari luar negeri. Mantan pejabat Dana Moneter Internasional Desmond Lachman mengatakan, perlambatan ekonomi China, resesi di Jepang, dan ancaman keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), berpeluang membuat pasar keuangan AS terguncang.
“Ada risiko yang mungkin sedikit diabaikan oleh AS, bahwa saat presiden AS berikutnya mengambl alih Gedung Putih, kondisi dunia terutama dari sisi ekonomi tengah pada posisi yang sangat buruk,” ujar Lachman.
Lachman mengakui melihat kondisi ekonomi AS dan global saat ini, dia pun meningkatkan persentase kemungkinan terjadinya resesi di negaranya pada tahun depan, dari 30% menjadi 40%.
SENTIMEN DOMESTIK
Dari dalam negeri, sentimen yang datang dari para calon presiden AS juga berpeluang memicu resesi pada masa depan. Contohnya, kehadiran Donald Trump yang muncul sebagai kandidat kuat dari Partai Republik.
Kehadiran Trump sebagai kandidat kuat presiden AS ini telah menimbulkan ketakutan para investor. Pasalnya, dari kampanye yang dilakukannya, dia dinilai terlampau kaku dalam menanggapi aktivitas perdagangan AS.
Trump juga terbilang terlalu percaya diri dengan tingkat utang yang dimiliki AS. Bahkan, dia pun baru saja mengibarkan perang urat saraf dengan Perdana Menteri Inggris David Cameron. Padahal, AS merupakan sekutu Inggris dan mereka sering terlibat dalam pembicaraan khusus seperti kerja sama ekonomi dan keamanan nasional.
Sementara itu, kecenderungan masyarakat AS yang kurang percaya pada para calon presiden AS saat ini telah mempengaruhi perekonomian nasional. Pasalnya, sejumlah survei terkait dengan kepercayaan perusahaan dan konsumen AS, menunjukkan adanya penurunan yang terus berkelanjutan.
Salah satunya adalah laporan dari University of Michigan yang mengatakan indeks sentimen konsumen AS telah jatuh ke level 89,7 pada awal bulan ini.
"Pandangan yang diungkapkan oleh berbagai kandidat justru telah membebani kepercayaan konsumen,” kata Richard Curtin, Direktur University of Michigan.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kuartal I/2016 sebesar 0,5% dinilai oleh para ekonom akan semakin mendorong AS mendekati situasi resesi. Kepala Ekonom IHS Inc. Nariman Behravesh mengatakan, laju pertumbuhan ekonomi Paman Sam terbilang terlalu lambat.
Dia berujar, dalam beberapa tahun ke depan, AS masih berpotensi mengalami penurunan ekonomi hingga 25%. Berkaca pada pengalaman masa lalu, dia menyebutkan, setidaknya ada tiga faktor yang akan mendorong ekonomi AS benar-benar pada posisi resesi.
Tiga faktor tersebut antara lain kenaikan suku bunga acuan yang tajam, lonjakan harga minyak, dan gelembung harga rumah. Sementara itu, pada saat ini, The Fed telah mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan, meskipun secara perlahan. Harga minyak perlahan mulai naik, setelah sempat anjlok pada tahun lalu dan harga rumah cenderung stabil.
Kondisi ini tentu saja menuntut adanya kesigapan dari pemerintah AS saat ini. Pasalnya, indeks keuntungan perusahaan telah anjlok hingga 11,5% pada kuartal IV/2015, atau penurunan terbesar sejak akhir 2008 yang mencapai 31%.
Sejarah menunjukkan ketika laba perusahaan anjlok, perekonomian nasional hampir pasti akan turut terperosok ke jurang resesi. Perusahaan-perusahaan dipastikan akan mengurangi perekrutan tenaga kerja dan aktivitas investasi.
Apabila situasi tersebut benar terjadi, maka ekonomi AS dipastikan akan terjerat masalah yang saat ini sedang dialami oleh Jepang. Alhasil, tugas presiden baru AS akan semakin berat, di tengah kondisi ekonomi global yang cenderung kurang bersahabat. (Bloomberg/Reuters)