Kabar24.com, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan perlindungan terhadap warga tak hanya dilakukan oleh monopoli satu lembaga saja, melainkan juga di daerah sehingga lebih maksimal.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengungkapkan upaya perlindungan dilakukan secara berjenjang dan tidak dimonopoli oleh satu kementerian atau lembaga saja. Dia mengungkapkan upaya itu mengalir dari pusat ke daerah sehingga perlindungan lebih maksimal.
"Dalam upaya memberikan perlindungan kita harus saling dukung satu sama lain," kata Semendawai dalam rilisnya, Jumat (5/2/2016).
Dia mengakui perlindungan yang diberikan lembaga itu ada melibatkan partisipasi dari pemangku kepentingan lainnya, yakni dalam rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial.
Sementara itu, Pekerja Sosial Rumah Perlindungan Trauma Center di NTB Agus Sofiandi mengungkapkan pihaknya menerima korban yang menerima kekerasan sampai 200 orang per tahunnya. Dia menuturkan tidak semua klien bisa diterima, karena harus dilakukan penilaian dan harus ada rekomendasi dari para pemangku kepentingan.
RPTC NTB hadir sejak 2012 lalu, bersamaan dengan RPTC di beberapa provinsi lain di Indonesia, yaitu di kawasan Bambu Apus DKI Jakarta dan Riau. Pada dua tahun pertama sejak didirikan, RPTC NTB masih di bawah koordinasi langsung Kementerian Sosial. Begitu pula dengan pendanaannya. Akan tetapi memasuki tahun ketiga, pengelolaan RPTC di bawah tanggung jawab Dinas Sosial, Kependudukan dan Catatan Sipil NTB.
"Pada prinsipnya, tidak semua klien bisa diterima. Hanya saja, mereka yang menjadi korban tindak kekerasan, mendapatkan prioritas untuk dititipkan di RPTC NTB," kata Agus.