Kabar24.com, JAKARTA - Alotnya pertarungan di tubuh Partai Golkar akhir-akhir ini seperti hendak mengonfirmasi anggapan bahwa para politisi ‘pohon beringin’ memang memiliki skill di atas rata-rata para politisi partai lainnya di negeri ini. Mereka mahir dan lihai bersiasat.
Kalau diandaikan dalam dunia persilatan, kelas mereka adalah ‘para pendekar’. Banyak akal, terampil memainkan kartu politik dan tak gampang menyerah adalah sebagian dari kecanggihan yang acapkali dipertontonkan politisi Golkar dalam momen krusial pergulatan politik.
Setya Novanto tentu saja adalah contoh femonenal betapa seorang politisi Golkar itu tak gampang menyerah dan mesti gigih menghadapi situasi terpelik sekalipun. Meski akhirnya harus lengser dari Ketua DPR terkait kasus ‘papa minta saham’, toh karier politik Setya tak benar-benar usai.
Dia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR menggantikan Ade Komarudin yang ditunjuk menjadi Ketua DPR menggantikan Setya.
Namun kultur ‘tidak gampang menyerah’ dan ‘banyak akal’ itu pulalah yang barangkali membuat pertikaian di Golkar tak mudah terselesaikan. Di antara politisi Golkar sendiri dikenal sulit takluk satu sama lainnya, apalagi kalau kepentingan salah satu pihak harus dikorbankan.
Sejak pecah pertikaian yang membelah Golkar dalam polarisasi dua kubu yang lazim disebut kubu Ketua Umum Aburizal Bakrie (Munas Bali) dan kubu Ketua Umum Agung Laksono (Munas Jakarta) dalam setahun terakhir, hingga kini pun belum ada tanda-tanda meyakinkan bakal terjadi islah atau rekonsiliasi.
Sejauh ini, segenap upaya yang diniatkan untuk mencapai perdamaian di antara dua kubu selalu berakhir dalam ketidakjelasan alias hanya wacana. Pertarungan di ranah hukum pun tak benar-benar diyakini bisa menuntaskan pertikaian antara kubu Aburizal dan Agung.
Muladi, salah satu politisi senior Golkar, mengkhawatirkan kemungkinan Golkar bakal menjadi ‘dinosaurus’ pada Pemilu 2019 jika pertikaian yang terjadi sekarang tidak bisa diselesaikan, dan Golkar tak segera kembali solid untuk menghadapi sejumlah agenda politik, terutama pilkada serentak putaran kedua pada 2017.
Tak kurang Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum Golkar, yang dengan segala daya upaya membawa partai ini ‘menyeberang’ dengan selamat dari zaman Orde Baru ke era reformasi, membeberkan fakta tentang raihan tak menggembirakan partai ini dalam kontestasi pilkada serentak pada 9 Desember 2015.
Ini seperti menjadi sinyal bahwa Golkar bisa benar-benar nyungsep pada Pemilu 2019.
Jika skenario terburuk tereduksi menjadi partai gurem itu terjadi, maka Golkar mungkin benar-benar hanya tinggal kenangan dalam percaturan politik, dan para aktivis reformasi radikal bakal tepuk tangan tanpa bersusah-susah membubarkan partai warisan Orde Baru ini seperti pernah diwacanakan pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid.
Karena kekhawatiran akan bayang-bayang menjadi partai gurem atau sindrom dinosaurus itu, sejumlah tokoh senior Golkar seperti B.J. Habibie (Presiden ke-3), Jusuf Kalla (Wapres dan mantan Ketum Golkar), Akbar Tandjung dan Muladi mendorong kedua kubu untuk bersepakat menggelar musyawarah nasional (munas) bersama guna mencari legitimasi dan legalitas baru bagi kepengurusan Golkar mendatang.
FAKTA HUKUM
Fakta hukum yang terhidang hari-hari ini, Menkum dan HAM Yasonna Laoly telah mencabut SK kepengurusan kubu Agung Laksono sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Namun, Menkum dan HAM tidak menerbitkan SK bagi kepengurusan kubu Aburizal Bakrie.
Sementara itu, produk kepengurusan Golkar hasil Munas Riau pada 2009 telah berakhir pada 31 Desember 2015. Di luar soal apakah pemerintah, dalam hal ini Menkum dan HAM, turut ‘bermain’ dan menjadi faktor politik dalam pertikaian Golkar, kenyataan yang ada memang memperlihatkan krisis legalitas kepengurusan Golkar.
Sebagian pihak menyebutnya sebagai vacuum of power, tak ada pemegang kekuasaan. Dengannya, segala kegiatan yang mengklaim atau diklaim atas nama DPP Partai Golkar bisa dianggap tidak sah atau bisa dipersoalkan secara hukum.
Tentu saja tak mudah bagi kubu Aburizal untuk serta merta menerima tawaran digelarnya munas guna menyudahi pertikaian dan perpecahan. Aburizal, yang juga tercatat sebagai Ketua Presidium Koalisi Merah Putih—kumpulan partai yang memilih di luar pemerintahan—niscaya berhitung keras kalau sampai akhirnya menyetujui digelarnya munas.
Merujuk hasil rekomendasi rapat konsultasi DPP dengan DPD I Golkar di Sanur, Bali, belum lama ini, kubu Aburizal dengan tegas menolak digelarnya munas sebelum 2019.
Yang menarik, rapat itu juga merekomendasikan perlunya dilakukan kajian untuk mengalihkan dukungan Golkar ke pemerintah. Adakah dengan demikian Menkum dan HAM bakal menerbitkan SK kepengurusan bagi DPP Golkar kubu Aburizal?
Sejak awal, kubu Agung Laksono memang ingin membawa Golkar menjadi bagian dari partai pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Alasan normatifnya, sesuai doktrin kekaryaan, Golkar tak mengenal oposisi. Di sisi lain, Jusuf Kalla adalah kader senior Golkar. Dua argumen ini yang dijadikan dasar bagi kubu Agung untuk mendukung pemerintahan Jokowi-Kalla.
Sebaliknya, Aburizal sendiri makin mantab dengan pilihan Golkar untuk tetap berada di KMP. Argumennya, tak ada salahnya Golkar menjadi kekuatan di luar pemerintahan, dan peran sebagai oposisi sama mulianya dengan menjadi bagian dari pemerintah.
Seperti diketahui, sejak gagal menjadi calon presiden atau calon wakil presiden pada Pilpres 2014, Aburizal memberikan dukungan penuh kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung koalisi sejumlah partai, yang akhirnya diberi nama KMP.
Meski kalah dalam kontestasi, KMP tetap solid dan mereka berhasil menguasai kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan.
Belakangan, kendali Partai Amanat Nasional (PAN) berpindah tangan dari Hatta Rajasa ke Zulkifli Hasan (Ketua MPR), yang kemudian mengalihkan dukungan secara resmi ke pemerintah, meski hingga sekarang belum mendapatkan ‘kompensasi’ kursi di kabinet lazimnya partai yang mendukung pemerintahan.
Pertarungan di Golkar mungkin masih akan alot. Seandainya pun digelar munas sebagai solusi perpecahan saat ini, boleh jadi akan muncul pertikaian baru. Atau, Golkar bakal melahirkan partai sempalan baru yang diinisasi oleh sejumlah kader yang tak puas dengan kondisi partai tersebut...