Bisnis.com, NAIROBI — Kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia kembali mendesakkan proposal mekanisme pengamanan khusus (Special Safeguard Mechanism/ SSM) untuk disepakati dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO) X di Nairobi, Kenya, 15-18 Desember 2015.
Menteri Perdagangan RI Thomas Lembong menyatakan para menteri negara berkembang anggota G-33 telah berhasil merumuskan komunike bersama guna memperjuangkan proposal tersebut, sebagai bagian dari upaya untuk melanjutkan Agenda Pembangunan Doha khususnya di sektor pertanian.
Bersamaan dengan itu, dia menegaskan, G-33 juga mengingatkan para menteri anggota WTO terhadap komitmen untuk mengimplementasikan kesepakatan 7 Desember 2013 di Bali, menyangkut isu cadangan pangan publik untuk tujuan keamanan pangan (public stockholding for food security purposes).
“Sesuai dengan kesepakatan, isu public stocholding ini harus menjadi keputusan permanen pada akhir 2015. Jadi, kami menggarisbawahi apapun solusi permanen yang dihasilkan harus mencakup program saat ini maupun program ke depan negara berkembang anggota WTO,” ujar Thomas, Senin (14/12).
Isu public stockholding adalah isu milik negara berkembang yang menjadi trade off disepakatinya perjanjian fasilitasi perdagangan (trade facilitation) milik negara maju pada KTM WTO IX di Bali 2 tahun lalu. Hingga kini sudah 57 dari total 162 negara anggota WTO yang meratifikasi perjanjian tersebut.
SSM adalah instrumen yang memungkinkan negara berkembang melinduni sektor pertanian domestinya dengan melakukan tindakan darurat berupa penaikan tarif bea masuk terhadap produk pertanian impor yang menyebabkan ancaman kerugian serius bagi produk pertanian di dalam negeri.
Proposal SSM sudah berkali-kali didesakkan G-33 di WTO, namun tak kunjung bisa menjadi kesepakatan WTO karena selalu dipatahkan oleh negara-negara maju. Sebaliknya, negara-negara maju ngotot untuk meraih kesepakatan tentang subsidi ekspor, yang juga selalu dipatahkan oleh negara berkembang.
Thomas menekankan semua anggota WTO harus menyadari dampak negatif dari kegagalan menghasilkan kesepakatan yang konkret di Nairobi pada krediblitas WTO sebagai forum negosiasi regulasi perdagangan multilateral terkait dengan tantangan pembangunan yang dihadapi negara berkembang.
Selain mendesakkan proposal itu, Thomas menambahkan, G-33 juga sepakat setelah KTM WTO X Nairobi berakhir, seluruh anggota WTO harus terus melanjutkan upaya perundingan guna meraih capaian yang komprehensif terkait Agenda Pembangunan Doha.
“Kami menggarisbawahi bahwa perlakuan khusus dan perlakuan berbeda untuk negara berkembang, termasuk Least-Developed Countries (LDCs) sertaSmall and Vulnerable Economies (SVEs) dalam negosiasi sektor pertanian harus operasional secara efektif,” tegasnya.
Untuk itu, sambung Thomas, G-33 mengajak seluruh anggota WTO untuk membahas kembali negosiasi dalam bidang dukungan domestik dan akses pasar produk pertanian, sekaligus menegaskan kebutuhan akan perlunya Produk Khusus (Special Product/ SP) di dalamnya.