Kabar24.com, JAKARTA -- Terorisme itu bukan hanya sekadar menyerang , membunuh, dan perbuatan kriminal lainnya, melainkan juga digerakkan atas dasar ideologi serta politik.
Sementara itu, radikalisasi menjadikan ideologi sebagai komoditas untuk merekrut massa. Hal itu dilakukan demi mewujdukan perubahan sosial. Karena itu dalam strategi deradikalisasi diperlukan pemahaman bagaimana radikalisasi tersebut terjadi.
Pernyataan tersebut diungkapkan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Pol. Tito Karnavian dalam Workshop Internasional "Radikalisasi dan Deradikalisasi" Membandingkan Pengalaman di Jerman, Indonesia, dan Lainnya, yang diselenggarakan Goethe-Institut Indonesien, Kedubes Jerman, PUSAD Paramadina, dan Konrad Adenauer Stiftung, Kamis (26/11/2015).
Menurut Tito, untuk mewujudkan perubahan itu digunakanlah cara terorisme.
Dengan demikian, terorisme itu bukan hanya sekadar menyerang , membunuh, dan perbuatan kriminal lainnya, tapi digerakkan atas dasar ideologi serta politik.
"Bom Alam Sutera murni serangan teroris. Tapi Jamaah Islamiyah, kelompok Paris, dan penyerangan World Trade Center merupakan aksi pemberontakan menggunakan metode terorisme," kata mantan Kepala Densus 88 tersebut.
Selain itu, perekrutan massa menjadi poin penting dalam proses radikalisasi.
Terkait kelompok teroris global yang mengatasnamakan Islam, mereka merekrut para pengikutnya dengan menjual ideologi salafi.
Perekrut ini merupakan pihak yang berperan menyebarkan ideologi tersebut.
Di Indonesia mereka menyebarkan paham tersebut melalui pertemuan langsung atau taklim dan media massa berupa selebaran buletin, pamflet, di masjid-masjid.
"Dari interview ke Guantanamo, Malaysia, Singapura, konsep mereka sama salafi jihadism. Keinginan untuk kembali ke masa kejayaan Islam pada abad 13. Di mana Islam menguasai dari Eropa hingga Asia tanpa hegemoni Amerika Serikat," kata Tito.
Sementara itu konteks radikalisasi di Indonesia berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Dia mencotohkan kelompok Santoso di Poso Sulawesi Tengah muncul karena karena negara dianggap gagal menyelesaikan konflik antara kelompok Islam dan Nasrani pada saat itu.
Adapun di Jawa, dan Banten, Tito melihat radikalisasi terjadi saat sejumlah orang pernah perang di Afghanistan melawan Uni Soviet pulang ke Indonesia menyebarkan ideologi radikal tersebut.
Dengan kharismanya, orang-orang itu mempengaruhi para pengikut untuk melakukan pemboman di sejumlah tempat.