Kabar24.com, JAKARTA -- Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua menyatakan bahwa persoalan perubahan adalah suatu keniscayaan.
Undang-undang Dasar 1945 saja bisa diamandemen, apalagi hanya undang-undang seperti UU KPK. Hanya saja, ujar Abdullah Hehamahua, persoalannya ada pada niat dan tujuan amandemen tersebut.
"Jika memerhatikan draf amandemen yg ada, jelas tujuannya, bukan saja untuk melemahkan, tetapi membubarkan KPK," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (9/10/2015).
Abdullah berpendapat, penetapan umur KPK hanya 12 tahun merupakan indikator adanya keinginan untuk membubarkan KPK.
Pasalnya, negara-negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Malaysia memiliki KPK yang berusia lebih dari 40 tahun dan tidak dibubarkan.
Padahal tingkat korupsi di negara-negara tersebut tergolong rendah. Bahkan, Singapura merupakan negara nomor dua terkecil untuk tingkat korupsi di dunia.
Selain itu, kewenangan penuntutan KPK dihilangkan berarti posisi KPK sama dengan kepolisian yang berkas penyidikannya harus diserahkan ke kejaksaan untuk memperoleh status P21.
"Untuk apa ada KPK, kalau tupoksinya sama dengan Kepolisian," jelas Abdullah.
Abdullah juga menilai ada draf amandemen yang tergolong political corruption, yaitu korupsi melalui kebijakan atau peraturan yang seolah untuk kepentingan negara, tapi sebenarnya untuk kepentingan golongan tertentu.
Abdullah menambahkan dalam proses penyidikan di KPK, jika ditemukan dua alat bukti permulaan yang cukup, maka kasus ditingkatkan menjadi penyidikan.
Hal ini berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan yang melakukan penyidikan untuk membuat terang perkara dan menemukan tersangka.
Sedangkan KPK melakukan penyidikan setelah ada tersangka.
"Logika apa yang digunakan, kalau orang Pengadilan Negeri yang terlibat korupsi lalu KPK minta izin dari mereka untuk dilakukan penyadapan? Bukankah, mereka akan menghilangkan alat bukti sebelum disadap," ujar Abdullah.