5. Kejanggalan Menjelang Ajal
Di sela-sela pekan sibuk itu, Juwita dan Yuni mengingat ada beberapa kejadian janggal yang dialami keluarga Yani. Sasmitaloka tiga kali ditelepon orang tak dikenal hanya untuk memastikan apakah benar rumah itu dihuni Achmad Yani.
Selain itu, beberapa kali terdengar orang bermain seruling di depan Sasmitaloka. Belakangan, pihak keluarga mencurigai alunan musik itu merupakan kode tertentu dari mata-mata, mengenai aktivitas Pak Yani di rumah.
“Tiga hari sebelum kejadian, Bapak pernah mau ditabrak orang. Bapak itu kan lebih suka nyetir sendiri, jarang pakai sopir. Dia juga suka ngebut, seperti di film koboi. Kalau ada yang menyalipnya, dia bisa panas,” ujar Juwita.
Beberapa firasat pun sempat dialami putra-putri Pak Yani, ketika Sang Jenderal tiba-tiba menyuruh anak-anaknya bolos sekolah pada 5 Oktober. Padahal, biasanya beliau sangat ketat dalam hal pendidikan buah hatinya.
Tidak hanya itu, tiba-tiba saja beliau menitipkan stik golfnya kepada sopirnya dan berkata dia tidak akan bermain lagi. Padahal, Pak Yani terkenal sangat hobi bermain golf dan selalu rutin setiap pekannya. Firasat lainnya; botol parfum kesayangan beliau tiba-tiba saja pecah.
Dari sana, mata Untung, putra ketujuh Achmad Yani mulai berkaca-kaca. Bagaimana tidak, dia dan adiknya Eddy menjadi saksi hidup bagaimana ayah mereka dibunuh di rumahnya sendiri dan diseret tanpa ampun saat masih dalam balutan piyama.
Untung masih berusia 11 tahun saat dia menyaksikan ayahnya untuk terakhir kali pada 1 Oktober dini hari. Itu terakhir kali saya melihatnya. Bahkan setelah jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya, kami tidak bisa melihatnya lagi. Petinya ditutup, kenangnya sedih.
Malam yang mencekam itu tidak akan pernah terhapus dalam ingatan Untung. Kakak-kakak perempuannya sedang tidur di kamar belakang, dan saat terjadi kegaduhan, pintu kamar mereka ditahan dari luar sehingga mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi pada ayahnya.