Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pilkada Serentak: Membaca Ambisi Golkar

Saat reses dimulai pada Rabu (8/7), para anggota dewan seharusnya pulang ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi konstituennya. Bukan malah terus-terusan menggelar rapat tentang penyelenggaraan Pilkada.
Ketua Umum Partai Golkar versi munas Bali Aburizal Bakrie (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Golkar versi munas Ancol Agung Laksono./Antara-Hafidz Mubarak A
Ketua Umum Partai Golkar versi munas Bali Aburizal Bakrie (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Golkar versi munas Ancol Agung Laksono./Antara-Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA — Komisi II DPR terus menggelar rapat dengan pemerintah membahas persiapan penyelenggaraan Pilkada meski Ketua DPR Setya Novanto telah menutup masa sidang IV periode 2014-2015, Selasa (7/7/2015).

Padahal saat reses dimulai pada Rabu (8/7), para anggota dewan seharusnya pulang ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi konstituennya. Bukan malah terus-terusan menggelar rapat tentang penyelenggaraan Pilkada.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Rambe Kamarulzaman beralasan penyelenggaraan Pilkada serentak gelombang pertama di 269 provinsi dan kabupaten/kota masih perlu pembenahan lebih lanjut untuk mengantisipasi munculnya sejumlah masalah.

Argumen itu memang menarik untuk disimak. Terlebih argumen tersebut muncul setelah KPU menerbitkan aturan yang tidak membolehkan partai berkonflik ikut dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2015.

Patut diketahui, jika mengacu aturan KPU No. 9/2015, ada dua partai politik yang terancam tidak bisa ikut pilkada karena dilanda konflik dualisme kepemimpinan, yakni Partai Golkar dan PPP.

Dengan absennya kepesertaan dua partai itu, Golkar yang mempunyai aliansi kuat di DPR—Koalisi Merah Putih (KMP)— lantas memunculkan isu ketidaksiapan pemerintah, KPU, dan Polri dalam menyelenggarakan pilkada.

Dari ketidaksiapan itu, kata Rambe, perlu ada pembenahan penyelenggaraan Pilkada. Pembenahan itu antara lain untuk persyaratan pendaftaran calon yang diatur, kesiapan pemerintah daerah, kredibilitas KPU sebagai penyelenggara Pilkada, penyelenggaraan pengamanan oleh Polri, serta penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Konstitusi.

Komisi II memulai dengan mengusulkan revisi UU No. 8/2015 tentang Pilkada agar KPU bisa mengubah aturan KPU. Tujuannya, agar KPU bisa mengakomodasi klausul putusan pengadilan terakhir (bukan incracht) bisa dijadikan acuan kepesertaan pilkada.

Menanggapi hal itu, KPU menolak karena hasil pilkada rawan digugat. Presiden Joko Widodo pun ikut menolak revisi itu.

Karena gagal, DPR meminta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memastikan kesiapan dana bagi seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada. Pasalnya, ada beberapa pemda yang belum meneken Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

Tjahjo menjawab, pemda sudah siap menyelenggarakan Pilkada. Bahkan, Tjahjo sudah menyiapkan sanksi bagi kepala daerah yang menghambat Pilkada.

Selanjutnya, DPR meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit KPU atas penggunaan dana pemilu periode 2013-2014.

Dari hasil audit, ditemukan dugaan penyalahgunaan anggaran sebesar Rp334 miliar. Dari hasil audit dengan tujuan tertentu itu, DPR memperoleh bahan untuk menyoal kredibilitas KPU. KPU dan KPU daerah pun siap menjawab audit itu.

Tak sampai disitu, Komisi II bekerjasama dengan Komisi III yang diketuai Aziz Syamsuddin, politisi Golkar, meminta untuk mengadakan rapat dengar pendapat dengan Polri sebagai penyelenggara pengamanan Pilkada.

Hasilnya, DPR menganggap perlu adanya penuntasan kekurangan anggaran pengamanan Rp700 miliar meski Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan siap mengamankan pilkada dengan anggaran kurang.

Yang terakhir, Komisi II mengundang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membicarakan masalah penyelesaian Pilkada. MK pun siap menuntaskan seluruh sengketa pilkada.

Nah, jika semua sudah siap, lalu apa yang dipermasalahkan dalam penyelenggaraan pilkada?

Banyak pihak beranggapan masalah-masalah itu hanya bagian dari ‘agenda setting’ Partai Golkar agar tetap bisa ikut Pilkada.

Langkahnya, meminta pemerintah mengundur jadwal Pilkada sambil menunggu pengadilan memberikan putusan incracht untuk Golkar dan PPP yang bersengketa di pengadilan.

Keinginan Golkar untuk tetap ikut Pilkada memang sangat kentara, dan tentu sangat beralasan.

Bagaimana tidak, jika gagal ikut Pilkada serentak, berarti Golkar juga gagal mempertahankan incumben yang mampu menjadi magnet elektoral daerah.

Kali ini, Golkar berjuang mati-matian untuk mempertahankan kans besar memenangi Pilkada serentak dengan modal kematangan mesin politik di daerah.

Belum lagi, mesin tersebut ditopang 60% petahana.

Betapa pun, dengan tidak adanya magnet elektoral di daerah, sudah dipastikan suara Golkar akan merosot dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Jadi, itulah kira-kira bacaan untuk Golkar.

Anda punya analisa lain?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper