SAYA berasumsi laporan IBI itu sudah cukup meyakinkan KPK untuk menjadikan Hadi Poernomo sebagai tersangka dugaan korupsi kasus pajak BCA. Sebab, kalau tidak yakin, penetapan Hadi sebagai tersangka hanya didasari dua kemungkinan lain: Penetapan itu pesanan, atau KPK agak genit.
Tapi kemudian terlihat, KPK butuh perhitungan BPKP untuk memperkuat keyakinan itu. Menariknya, itu dilakukan setelah Hadi ditetapkan sebagai tersangka. Kenapa KPK perlu memperkuat keyakinannya, ini yang tak terungkap di persidangan. Bahkan, KPK terlihat supersabar menunggu hasil perhitungan itu.
Padahal, untuk menghitung kerugian negara dalam kasus ‘sekecil’ itu, waktu setahun lebih bagi BPKP yang punya ribuan pegawai itu jelas terlalu lama. Bandingkan dengan waktu yang dibutuhkan BPK saat menghitung kerugian negara dalam kasus Bank Century atau Hambalang, yang hanya hitungan bulan.
Sampai di sini, Anda boleh berspekulasi: BPKP males-malesan memenuhi permintaan KPK karena sebab-sebab tertentu; atau BPKP tidak yakin dengan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut. Sayang, ini juga tidak terungkap di persidangan praperadilan. Yang ada adalah klaim KPK.
Tapi bukan itu sebetulnya poin saya. Selain tidak solidnya perhitungan kerugian keuangan negara yang disangkakan KPK seperti diuraikan di sini, kelemahan mendasar lain dalam konstruksi sangkaan KPK kepada Hadi adalah Kedua, tidak dimintakannya perhitungan kerugian negara kepada BPK.
Benar bahwa ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 pada 23 Oktober 2012 yang dalam pertimbangannya membolehkan semua lembaga, termasuk penyidik, bahkan perorangan dengan syarat tertentu, melakukan perhitungan kerugian keuangan negara alias tidak hanya BPK.
Sebelum putusan MK itu, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) & (2) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara sekaligus pihak yang berkewajiban membayar ganti ruginya kepada negara adalah BPK.
Tapi yang perlu diperhatikan, putusan MK No.31/PUU-X/2012 itu tidak berlaku surut (non-retroaktif). Putusan itu hanya bisa dipergunakan terhadap kasus yang terjadi setelah putusan itu terbit. Dengan kata lain, hakim tidak bisa menggunakan putusan itu untuk mengadili kasus Hadi yang terjadi pada 18 Juni 2004.
Untuk mengantisipasi ini, harusnya sejak awal KPK meminta perhitungan kerugian negara dalam kasus pajak BCA kepada BPK. Atau, mengajukan uji materi ke MK agar pertimbangan MK dalam putusan No. 31/PUU-X/2012 yang membolehkan ‘semua orang menghitung kerugian negara’, dapat berlaku surut.
Namun, alih-alih melakukan itu sejak awal, KPK malah membiarkan Hadi menikmati masa tersangkanya hingga lebih dari setahun, tanpa melakukan pemeriksaan apa-apa kepadanya. KPK tak boleh lupa, kasus ini terjadi pada 2004, 10 tahun ke belakang sejak Hadi ditetapkan sebagai tersangka pada 21 April 2014.
Kalau di satu sisi KPK menyebut pengusutan terhadap kasus penyidik Novel Baswedan dan komisioner KPK Bambang Widjojanto yang terjadi bertahun silam adalah kriminalisasi, maka kalau mau konsisten, KPK harus ikhlas jika kasus penyidikan Hadi ini juga dikatakan sebagai kriminalisasi.
BACA Seri-4: Standar Ganda & Kriminalisasi