TIDAK adanya perhitungan tentang kerugian keuangan negara yang nyata pasti dalam konstruksi sangkaan KPK terhadap Hadi itu menjadi kelemahan mendasar karena yang disebut dengan kerugian negara harus memenuhi dua syarat, yaitu nyata kerugiannya dan pasti jumlah atau nominalnya.
Dua syarat ini tertera jelas dalam Pasal 1 poin 22 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan: Kerugian negara/ daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Di sisi lain, laporan investigasi Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan per Juni 2010 itu adalah laporan yang tidak dimaksudkan atau ditujukan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Laporan itu adalah laporan tentang dugaan penyalahgunaan wewenang.
Karena itu, laporan tersebut, yang oleh KPK dijadikan sebagai bukti permulaan penetapan Hadi sebagai tersangka bersama nota dinas Dirjen Pajak Hadi Poernomo kepada Direktur Pajak Penghasilan Sumihar Petrus Tambunan, tak menyebut dengan jelas berapa kerugian negara dalam kasus tersebut.
Laporan itu, kalau dibaca secara lebih cermat dan hati-hati, menggunakan kalimat ‘potensi kehilangan penerimaan perpajakan’, bukan ‘kerugian keuangan negara’. Saya yakin, seluruh ahli bahasa dan fiskal di negeri ini akan bersepakat, ada perbedaan yang nyata antara ‘potensi kehilangan’ dan ‘kerugian’.
Kalimat ‘potensi’ dalam laporan IBI itu juga dikonfirmasi sendiri oleh KPK, yang menyertakan laporan tersebut sebagai salah satu bukti, di antara bertroli-troli bukti, yang tunjukkan di persidangan. Kalimat dalam dokumen bukti laporan itu malah menyebut ‘potensi kehilangan Rp325 miliar atau Rp3,8 triliun’.
Di sinilah kelemahan itu terlihat. Kepada hakim, KPK menyangka Hadi telah merugikan negara sekitar Rp325 miliar/ setidaknya Rp325 miliar/ sekitar Rp2 triliun, tetapi dalam bukti yang disertakannya, yang ditunjukkan adalah laporan yang hanya menunjukkan adanya potensi, bahkan dengan kata ‘atau’.
Berpijak dari kelemahan itu pula kemudian terlihat, KPK baru meminta perhitungan kerugian keuangan negara yang jelas dan pasti dalam kasus Hadi kepada BPKP pada 12 Mei 2014, atau sekitar tiga pekan setelah Hadi ditetapkan sebagai tersangka pada 21 April 2014.
Pertanyaannya, kalau memang KPK sudah yakin bahwa laporan IBI itu cukup untuk menjerat Hadi, kenapa pula harus meminta bantuan BPKP untuk menghitung kerugian negaranya? Kenapa pula KPK harus mengklaim jumlah pasti hasil hitungan BPKP, sementara perhitungannya sendiri belum selesai?
BACA Seri-3: Kenapa dalam kasus Hadi KPK memerlukan perhitungan BPKP